Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ujug-Ujug Omnibus Law: Karpet Merah Buat Oligarki

13 Juli 2024   11:33 Diperbarui: 13 Juli 2024   11:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**UJUG UJUG OMNIBUS LAW: KARPET MERAH UNTUK OLIGARKI - KAJIAN IDEOLOGI MARHAENISME**

Omnibus Law, sebuah istilah yang mungkin tidak terlalu dikenal sebelum beberapa tahun terakhir, kini menjadi topik hangat dalam diskursus politik dan ekonomi Indonesia. Undang-undang yang menggabungkan beberapa peraturan menjadi satu ini, menurut pemerintah, bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan mempercepat investasi. Namun, dalam perspektif ideologi Marhaenisme, langkah ini lebih tampak sebagai karpet merah bagi oligarki yang semakin memperdalam ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Marhaenisme, sebuah ideologi yang berakar pada ajaran Bung Karno, sangat menekankan pada keadilan sosial dan ekonomi bagi rakyat kecil. Marhaen, seorang petani miskin yang ditemui Soekarno, menjadi simbol perjuangan melawan penindasan dan eksploitasi oleh kaum kapitalis. Omnibus Law, dengan segala kompleksitas dan kontroversinya, tampaknya berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar Marhaenisme.

Pertama, kita harus melihat bagaimana Omnibus Law disusun dan disahkan. Proses penyusunan yang terburu-buru dan minim partisipasi publik mencerminkan adanya dorongan kuat dari elite politik dan ekonomi untuk mempercepat implementasinya. Dalam perspektif Marhaenisme, proses ini sangat problematik karena mengabaikan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib mereka. Demokrasi, menurut Marhaenisme, haruslah partisipatif dan inklusif, bukan elitistik dan eksklusif.

Kedua, isi dari Omnibus Law itu sendiri banyak menguntungkan investor besar dan korporasi, sementara perlindungan terhadap pekerja dan lingkungan semakin terpinggirkan. Pasal-pasal yang memudahkan perizinan investasi, mengurangi hak-hak buruh, dan melemahkan regulasi lingkungan, menunjukkan keberpihakan yang jelas pada kepentingan oligarki. Hal ini bertentangan dengan semangat Marhaenisme yang berjuang untuk kesejahteraan kaum marhaen---para petani, buruh, dan rakyat kecil lainnya.

Marhaenisme menekankan bahwa ekonomi harus dikelola untuk kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk segelintir orang. Namun, Omnibus Law tampaknya memperkuat cengkeraman oligarki atas perekonomian Indonesia. Deregulasi yang diusung dalam undang-undang ini mempermudah akumulasi kekayaan oleh para pemodal besar, sementara rakyat kecil tetap bergelut dengan kesulitan ekonomi. Dalam konteks ini, Omnibus Law dapat dilihat sebagai alat untuk melanggengkan ketimpangan struktural yang ada.

Selanjutnya, dalam kajian Marhaenisme, tanah dan sumber daya alam adalah milik bersama yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat. Omnibus Law, dengan berbagai kebijakan yang mempermudah penguasaan tanah oleh korporasi besar, mengabaikan prinsip ini. Alih-alih memperkuat hak-hak rakyat atas tanah, undang-undang ini justru membuka peluang lebih besar bagi eksploitasi sumber daya oleh pihak yang memiliki modal besar. Ini jelas bertentangan dengan cita-cita Marhaenisme yang memperjuangkan distribusi sumber daya yang adil dan berkelanjutan.

Implikasi dari Omnibus Law juga harus dilihat dalam konteks sosial-politik yang lebih luas. Dalam perspektif Marhaenisme, penindasan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari penindasan politik. Omnibus Law, dengan segala kontroversinya, dapat dianggap sebagai bentuk baru penindasan politik yang terselubung. Ketika regulasi dibuat untuk kepentingan oligarki, maka kekuatan politik pun cenderung berpihak pada mereka, mengabaikan suara dan hak-hak rakyat kecil. Ini adalah bentuk lain dari penindasan yang sangat dikritik dalam Marhaenisme.

Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk kembali kepada nilai-nilai Marhaenisme yang mengutamakan keadilan sosial dan ekonomi. Gerakan rakyat harus diperkuat untuk menuntut perubahan kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Pendidikan politik dan ekonomi bagi rakyat harus ditingkatkan agar mereka bisa lebih memahami hak-hak mereka dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Selain itu, solidaritas antar kelompok masyarakat yang berbeda juga perlu diperkuat untuk melawan dominasi oligarki yang semakin menggurita.

Sebagai penutup, Omnibus Law bukan hanya sebuah undang-undang yang kontroversial, tetapi juga simbol dari semakin menguatnya kekuasaan oligarki di Indonesia. Dalam perspektif Marhaenisme, ini adalah ancaman serius bagi cita-cita keadilan sosial dan ekonomi yang telah diperjuangkan sejak zaman kemerdekaan. Oleh karena itu, perjuangan melawan Omnibus Law adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan merata bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang yang berkuasa dan kaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun