Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Orde Baru Meneriaki Orde Baru

12 Juli 2024   19:13 Diperbarui: 12 Juli 2024   19:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**Ketika "Orde Baru" Meneriaki Orde Baru Kepada Pihak Lainnya**

Di penghujung abad ke-20, Indonesia menyaksikan jatuhnya Orde Baru, sebuah rezim yang selama lebih dari tiga dekade menggenggam kendali kekuasaan dengan tangan besi. Reformasi 1998 bukan sekadar pergantian presiden, tetapi juga sebuah transformasi politik dan sosial yang menjanjikan demokrasi dan kebebasan setelah era otoritarianisme. Namun, dalam perjalanan pasca-reformasi, terdapat fenomena menarik di mana pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan sering kali menuduh lawan politik mereka menerapkan praktik-praktik Orde Baru, meskipun mereka sendiri memiliki keterkaitan dengan era tersebut. Fenomena ini menggambarkan dinamika politik Indonesia yang kompleks dan penuh kontradiksi.

Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, dikenal dengan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun, stabilitas ini dicapai dengan mengorbankan kebebasan politik, hak asasi manusia, dan transparansi. Kebijakan-kebijakan yang represif, kontrol media yang ketat, dan korupsi yang merajalela menjadi ciri khas rezim ini. Ketika akhirnya Soeharto mundur pada Mei 1998, harapan akan perubahan besar dan pembaruan menyelimuti negeri ini.

Setelah Reformasi, Indonesia memasuki era demokrasi dengan pemilu yang lebih terbuka dan multipartai. Namun, bayang-bayang Orde Baru tidak serta merta hilang. Banyak tokoh politik dan elite yang sebelumnya berada di lingkaran kekuasaan Orde Baru masih memainkan peran penting dalam pemerintahan dan partai-partai politik. Mereka sering kali menggunakan retorika anti-Orde Baru untuk menarik dukungan rakyat, meskipun jejak keterlibatan mereka dengan rezim tersebut sulit dihapus.

Retorika "Orde Baru" sering kali muncul dalam kampanye politik dan debat publik, di mana pihak yang satu menuduh pihak lainnya berperilaku seperti rezim Soeharto. Ironisnya, banyak dari mereka yang melontarkan tuduhan tersebut memiliki latar belakang yang serupa. Misalnya, beberapa tokoh yang menuduh pemerintah saat ini mengulangi praktik-praktik Orde Baru adalah mantan pejabat atau orang-orang yang pernah menikmati kekuasaan di era tersebut. Tuduhan ini sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mendiskreditkan lawan dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.

Salah satu contoh nyata adalah saat pemilu, di mana kampanye negatif dan tuduhan tentang kembalinya gaya pemerintahan Orde Baru menjadi senjata utama. Misalnya, pada pemilu 2014 dan 2019 bahkan Pemilu 2024 kemarin, isu kembalinya Orde Baru digunakan oleh kedua kubu untuk menjatuhkan satu sama lain. Di satu sisi, terdapat tuduhan bahwa beberapa kebijakan pemerintah saat itu mencerminkan sentralisasi kekuasaan dan kontrol yang ketat terhadap media, mirip dengan era Orde Baru. Di sisi lain, pihak yang berkuasa menuduh oposisi memiliki keterkaitan dengan elite Orde Baru dan berusaha mengembalikan praktik-praktik korup yang dulu mereka kritisi.

Namun, tuduhan ini tidak selalu didasarkan pada fakta yang jelas dan sering kali berfungsi sebagai propaganda untuk memanipulasi opini publik. Masyarakat yang lelah dengan politik penuh intrik sering kali terjebak dalam narasi ini tanpa benar-benar memahami konteks dan sejarah sebenarnya. Padahal, yang lebih penting adalah melihat kebijakan dan tindakan konkret yang diambil oleh para politisi tersebut, bukan sekadar retorika yang mereka gunakan.

Fenomena "Orde Baru meneriaki Orde Baru" juga mencerminkan kesulitan Indonesia dalam benar-benar melepaskan diri dari masa lalu otoritarian. Proses transisi menuju demokrasi bukanlah sesuatu yang instan dan mudah. Struktur politik, ekonomi, dan sosial yang dibangun selama puluhan tahun tidak bisa diubah dalam semalam. Banyak kebiasaan dan praktik yang diwarisi dari era Orde Baru masih melekat kuat, baik di kalangan birokrasi, militer, maupun masyarakat umum.

Upaya untuk mengatasi warisan Orde Baru memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, partai politik, maupun masyarakat sipil. Reformasi hukum, pemberantasan korupsi, dan pendidikan politik yang baik menjadi kunci untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak sekadar menjadi slogan kosong. Selain itu, penting untuk membangun budaya politik yang lebih matang, di mana kritik dan oposisi didasarkan pada argumen yang rasional dan konstruktif, bukan sekadar tuduhan dan fitnah.

Pada akhirnya, tuduhan "Orde Baru" kepada pihak lain mungkin mencerminkan ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk benar-benar bergerak maju. Demokrasi yang sehat membutuhkan introspeksi dan akuntabilitas dari semua pihak. Alih-alih saling menyalahkan dan menuduh, yang diperlukan adalah upaya bersama untuk memperbaiki sistem dan memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi benar-benar terwujud dalam praktik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun