Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Pemilu 1992 Lebih Apik Ketimbang Pilkada Serentak 2024?

11 Juli 2024   08:02 Diperbarui: 11 Juli 2024   08:02 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian penting dari proses demokrasi di Indonesia. Pemilu 1992 dan Pilkada Serentak 2024 merupakan dua momen penting dalam sejarah politik Indonesia yang mencerminkan perubahan dan dinamika politik di negeri ini. Melihat kembali pemilu 1992 dan membandingkannya dengan Pilkada Serentak 2024, kita bisa menyoroti sejumlah alasan mengapa pemilu 1992 dapat dianggap lebih apik dibandingkan Pilkada Serentak 2024.

**1. Kejelasan Sistem dan Partisipasi Pemilih**

Pemilu 1992 diadakan dalam konteks Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Meskipun sistem politik saat itu sangat dikendalikan oleh pemerintah, pemilu tersebut menawarkan kejelasan dalam sistem dan aturan main. Hanya ada tiga partai politik yang berkompetisi: Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan hanya tiga pilihan, pemilih lebih mudah memahami pilihan mereka dan partisipasi pemilih pun relatif tinggi.

**2. Stabilitas Politik**

Pemilu 1992 diadakan dalam situasi politik yang relatif stabil. Orde Baru dikenal dengan stabilitas politiknya, meskipun di balik itu terdapat banyak pengekangan kebebasan sipil dan politik. Stabilitas ini memberikan kepastian bagi masyarakat dan investor, serta memungkinkan pemerintah fokus pada pembangunan ekonomi dan sosial.

Pilkada Serentak 2024, di sisi lain, diadakan dalam suasana politik yang lebih terbuka dan dinamis. Meskipun ini menunjukkan kemajuan demokrasi, hal ini juga menimbulkan risiko instabilitas politik. Berbagai kepentingan politik bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, yang sering kali mengarah pada konflik dan ketidakpastian. Hal ini terlihat dari berbagai protes dan ketegangan yang muncul selama proses pemilu.

**3. Fokus pada Pembangunan**

Pada masa pemilu 1992, pemerintah Orde Baru sangat fokus pada agenda pembangunan. Program-program seperti Pelita (Pembangunan Lima Tahun) berhasil meningkatkan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Fokus pemerintah pada pembangunan ekonomi dan sosial memberikan hasil nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Di sisi lain, Pilkada Serentak 2024 lebih banyak didominasi oleh isu-isu politik dan kekuasaan. Fokus pada pembangunan sering kali tersingkir oleh persaingan politik dan manuver kekuasaan. Meskipun banyak calon kepala daerah yang mengusung program pembangunan, implementasinya sering kali terganggu oleh dinamika politik dan kepentingan kelompok.

**4. Pengendalian Korupsi**

Pemilu 1992 diadakan di bawah pengawasan ketat pemerintah pusat, yang meskipun otoriter, berhasil menjaga tingkat korupsi di kalangan elit politik relatif rendah dibandingkan dengan era reformasi. Pengawasan ketat dan sentralisasi kekuasaan memberikan kontrol yang lebih besar terhadap perilaku elit politik.

Pilkada Serentak 2024, meskipun diharapkan menjadi alat demokratisasi, sering kali menghadapi masalah korupsi yang lebih merajalela. Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah memberikan ruang bagi praktik korupsi di berbagai tingkatan pemerintahan. Hal ini diperparah oleh kurangnya pengawasan efektif dan transparansi dalam proses pilkada.

**5. Keterlibatan Masyarakat**

Pada pemilu 1992, keterlibatan masyarakat dalam proses politik lebih terarah dan terorganisir. Pemerintah Orde Baru mengendalikan organisasi masyarakat dan memastikan partisipasi melalui cara-cara yang terstruktur. Meskipun partisipasi ini sering kali bersifat formalitas, namun ada kesan keteraturan dan keterlibatan yang jelas.

Sebaliknya, Pilkada Serentak 2024 menunjukkan keterlibatan masyarakat yang lebih bebas namun juga lebih beragam dan terkadang tidak terarah. Kebebasan berekspresi dan partisipasi politik yang lebih luas sering kali menyebabkan fragmentasi dan polarisasi di kalangan masyarakat. Masyarakat lebih bebas mengekspresikan dukungan atau ketidakpuasan mereka, yang sering kali mengarah pada konflik horizontal.

**Kesimpulan**

Pemilu 1992 dan Pilkada Serentak 2024 masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pemilu 1992 menunjukkan kejelasan sistem, stabilitas politik, fokus pada pembangunan, pengendalian korupsi, dan keterlibatan masyarakat yang terorganisir. Di sisi lain, Pilkada Serentak 2024 mencerminkan dinamika demokrasi yang lebih terbuka namun juga menghadapi tantangan kompleksitas, instabilitas politik, fokus yang terpecah, korupsi, dan fragmentasi masyarakat.

Meskipun pemilu 1992 sering kali dianggap sebagai pemilu yang terkontrol dan kurang demokratis, beberapa elemen dari pemilu tersebut dapat memberikan pelajaran berharga bagi pelaksanaan pesta demokrasi di masa mendatang. Memadukan kejelasan sistem, stabilitas politik, dan fokus pada pembangunan dengan keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang lebih luas dapat menjadi formula ideal untuk pemilu yang lebih baik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun