Di lorong sempit dan kumuh ini,
Terhampar kisah yang tak terungkapkan,
Kisah lara yang terbungkus debu,
Terselip di balik dinding usang.
Langkah kaki yang letih,
Menjejak jalan berbatu kasar,
Mengiringi harapan yang pudar,
Di bawah langit kelam tanpa bintang.
Tangis anak kecil memecah malam,
Suara yang tenggelam dalam kelaparan,
Sedang ibu merajut asa yang rapuh,
Di tengah pekat malam yang dingin.
Rumah-rumah reyot tanpa jendela,
Menggambarkan nestapa yang abadi,
Di balik tirai lusuh dan sobek,
Tersimpan mimpi yang tak pernah terwujud.
Terik mentari membakar siang,
Menghimpit nafas yang kian sesak,
Di sini, di lorong yang dilupakan,
Tumbuh lara yang tiada akhir.
Namun di tengah duka yang mendera,
Ada secercah cahaya kecil,
Dari senyum tulus yang tersisa,
Menghiasi wajah yang penuh luka.
Lara di lorong kumuh ini,
Adalah cermin dari kepedihan,
Yang merayap dalam setiap jiwa,
Menanti uluran tangan kasih.
Bukanlah belas kasihan yang mereka minta,
Namun kesempatan untuk hidup layak,
Untuk merangkai masa depan,
Di luar lorong kumuh yang menjerat.
Di sini, di lorong penuh lara,
Marilah kita sebarkan cahaya,
Agar senyum kembali merekah,
Dan harapan kembali bersemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H