**Menuntut Pertanggungjawaban Partai Politik yang Ikut Mengesahkan UU Ibukota Nusantara di DPR: Perspektif Marhaenisme**
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, peran partai politik (parpol) selalu menjadi sorotan dalam setiap kebijakan strategis yang diambil oleh pemerintah. Salah satu kebijakan kontroversial yang kini mengemuka adalah Undang-Undang Ibukota Nusantara (UU IKN) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kebijakan ini memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan berbagai alasan, mulai dari desentralisasi pembangunan hingga mengatasi permasalahan lingkungan di Jakarta. Namun, dalam lensa Marhaenisme, kebijakan ini mengundang banyak tanda tanya dan kritik yang mendalam.
### Marhaenisme: Sebuah Pengantar
Marhaenisme, ideologi yang dicetuskan oleh Bung Karno, menekankan pada keberpihakan kepada rakyat kecil, keadilan sosial, dan kemandirian bangsa. Dalam perspektif ini, kebijakan negara harus selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap kaum marhaen---yaitu petani kecil, buruh, dan rakyat miskin---yang seringkali menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
### UU IKN dalam Perspektif Marhaenisme
Pemindahan ibu kota negara tentu bukanlah hal yang sederhana. Ini melibatkan anggaran besar, relokasi penduduk, serta perubahan besar dalam tata ruang dan lingkungan. Dalam perspektif Marhaenisme, ada beberapa poin kritis yang perlu diperhatikan:
1. **Anggaran dan Pengalokasiannya**:Â
  Pemindahan ibu kota memerlukan dana yang sangat besar. Anggaran ini datang dari berbagai sumber, termasuk APBN dan investasi swasta. Dalam kondisi ekonomi yang masih tertekan akibat pandemi COVID-19, penggunaan anggaran negara untuk proyek sebesar ini patut dipertanyakan. Seharusnya, anggaran negara lebih diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil, memperbaiki infrastruktur di daerah-daerah tertinggal, serta meningkatkan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
2. **Keterlibatan Rakyat dalam Proses Pengambilan Keputusan**:
  Salah satu prinsip Marhaenisme adalah keterlibatan aktif rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Namun, dalam kasus UU IKN, partisipasi masyarakat tampaknya minim. Banyak pihak merasa bahwa kebijakan ini diputuskan secara top-down tanpa mendengarkan aspirasi rakyat kecil yang terdampak langsung oleh kebijakan ini.