Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Flexing Itu Bagian dari Penindasan Manusia Terhadap Manusia: Analisa Marhaenisme

27 Mei 2024   16:00 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:26 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Flexing, atau pamer kekayaan dan kesuksesan secara berlebihan, menjadi fenomena yang semakin marak di era media sosial selama ya kurang lebih dari 3 tahun terakhir ini. Dari pamer mobil mewah hingga gaya hidup glamor, flexing sering kali dilihat sebagai cara untuk menunjukkan status sosial dan keberhasilan pribadi. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan mencerminkan bentuk penindasan manusia terhadap manusia lainnya, sebagaimana dapat dianalisis melalui lensa Marhaenisme.

### Konsep Marhaenisme

Marhaenisme, sebuah ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, berakar pada pemahaman tentang ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat kecil, yang disebut Marhaen. Marhaenisme mengusung semangat perlawanan terhadap penindasan oleh kaum borjuis dan mengedepankan keadilan sosial, kemerdekaan, dan kemandirian rakyat kecil.

### Flexing Sebagai Bentuk Penindasan

Dalam konteks Marhaenisme, flexing dapat dilihat sebagai manifestasi dari ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin menganga. Fenomena ini tidak hanya memamerkan kekayaan, tetapi juga mempertegas garis pemisah antara yang kaya dan yang miskin, menciptakan hierarki sosial yang merugikan kaum Marhaen. Berikut adalah beberapa aspek yang menunjukkan bagaimana flexing menjadi bagian dari penindasan:

1. **Eksploitasi Psikologis**: Flexing menciptakan tekanan psikologis bagi mereka yang kurang mampu, membuat mereka merasa rendah diri dan tidak berharga. Rasa minder ini dapat menurunkan semangat juang dan produktivitas kaum Marhaen, yang seharusnya diperjuangkan untuk peningkatan kesejahteraan mereka.

2. **Komodifikasi Kehidupan**: Flexing sering kali mengubah aspek-aspek kehidupan menjadi komoditas yang bisa dipertontonkan. Dalam perspektif Marhaenisme, ini adalah bentuk eksploitasi yang mengalienasi manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya, memaksa mereka untuk melihat kesuksesan dari kacamata materialistik semata.

3. **Pengalihan Perhatian**: Flexing mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah-masalah struktural yang mendasari ketimpangan sosial. Alih-alih berfokus pada perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi, masyarakat terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk mencapai status sosial melalui konsumsi barang-barang mewah.

### Dampak Sosial dan Ekonomi

Flexing memiliki dampak yang luas, baik secara sosial maupun ekonomi. Secara sosial, fenomena ini memperdalam jurang ketidaksetaraan dan memperlemah solidaritas sosial. Orang-orang cenderung melihat satu sama lain sebagai pesaing dalam perlombaan material, bukan sebagai sesama manusia yang perlu saling mendukung.

Secara ekonomi, dorongan untuk terus-menerus menunjukkan kekayaan dapat mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan dan boros. Hal ini bisa mengarah pada krisis keuangan pribadi bagi mereka yang memaksakan gaya hidup mewah di luar kemampuan mereka, serta mengalihkan sumber daya dari investasi produktif yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

### Upaya Perlawanan dan Solusi

Untuk melawan efek negatif dari flexing, diperlukan langkah-langkah yang berpijak pada prinsip-prinsip Marhaenisme:

1. **Edukasi dan Kesadaran Kritis**: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari flexing melalui edukasi kritis. Ini termasuk mengajarkan nilai-nilai solidaritas, kebersamaan, dan pentingnya keadilan sosial.

2. **Pemberdayaan Ekonomi**: Mengimplementasikan program-program yang memberdayakan ekonomi kaum Marhaen, seperti pelatihan keterampilan, akses ke modal usaha, dan perlindungan sosial yang memadai. Dengan demikian, mereka bisa mencapai kesejahteraan tanpa harus terjebak dalam budaya pamer.

3. **Kebijakan Pemerintah**: Pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Kebijakan redistribusi kekayaan, pajak progresif, dan program-program sosial yang mendukung kaum miskin dapat mengurangi jurang pemisah antara kaya dan miskin.

4. **Penguatan Komunitas Lokal**: Memperkuat komunitas lokal dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Komunitas yang kuat dapat menjadi benteng terhadap pengaruh budaya konsumerisme dan materialisme yang merusak.

### Kesimpulan

Flexing bukan sekadar fenomena budaya populer, melainkan cerminan dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih dalam. Melalui analisa Marhaenisme, dapat dilihat bahwa flexing adalah bagian dari penindasan manusia terhadap manusia lainnya, memperkuat struktur sosial yang tidak adil dan merugikan kaum Marhaen. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan upaya kolektif yang mengedepankan keadilan sosial, solidaritas, dan pemberdayaan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Hanya dengan demikian, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun