**Pendahuluan**
Marhaenisme, sebagai ideologi yang dicetuskan oleh Sukarno, merupakan sebuah pandangan yang menitikberatkan pada keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan pemberdayaan rakyat kecil. Ideologi ini tumbuh dari pengalaman nyata rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan dan ketidakadilan struktural. Dengan latar belakang tersebut, penting untuk meninjau Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dari perspektif Marhaenisme.
**Poin-Poin Kritis**
1. **Keadilan Sosial**
  UU No. 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah luar biasa dalam menangani dampak pandemi COVID-19. Dari sudut pandang Marhaenisme, fokus utama haruslah pada keadilan sosial. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana undang-undang ini mampu mengatasi ketidakadilan ekonomi yang semakin parah akibat pandemi? Apakah kebijakan fiskal dan moneter yang diatur dalam UU ini benar-benar menyentuh kepentingan rakyat kecil, ataukah lebih banyak menguntungkan elit ekonomi?
  Salah satu kritikan yang muncul adalah alokasi dana yang besar untuk stabilitas sistem keuangan, namun kurangnya transparansi dalam penyaluran bantuan langsung tunai atau subsidi kepada masyarakat miskin. Dalam pandangan Marhaenisme, kebijakan harus memprioritaskan kelompok masyarakat yang paling rentan dan terdampak, yaitu petani, buruh, dan pekerja informal.
2. **Kemandirian Ekonomi**
  Marhaenisme menekankan pada pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap individu dan komunitas. UU No. 2 Tahun 2020, dengan berbagai kebijakan stimulus ekonomi, seharusnya dapat dijadikan momentum untuk memperkuat sektor-sektor lokal dan usaha kecil menengah (UKM). Namun, realitasnya menunjukkan bahwa sebagian besar stimulus ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor-sektor besar dan korporasi, yang dianggap lebih cepat memulihkan ekonomi secara makro.
  Kritik dari perspektif Marhaenisme adalah bahwa kebijakan seperti ini cenderung mengabaikan potensi ekonomi lokal yang sebenarnya memiliki peran penting dalam membangun kemandirian ekonomi nasional. Kebijakan fiskal yang diatur dalam UU ini seharusnya lebih inklusif, dengan memberikan dukungan nyata kepada petani, nelayan, dan pengusaha kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
3. **Pemberdayaan Rakyat**