Biarpun banyak orang yang kurang simpatik dengan tim Jerman, tapi justru dunia seharusnya bersyukur jika perhelatan PD 2014 melahirkan tim sekelas Jerman sebagai sang juara. Mengapa begitu?
Banyak teman saya yang lebih menjagokan Argentina hanya karena alasan seorang jagoan bernama Messi! Namun saya sendiri bukannya tidak kagum dengan sang jagoan, namun fakta menunjukkan bahwa kemampuan Messi yang luar biasa tidaklah cukup untuk merebut gelar juara. Di final subuh tadi terlihat jelas kalau Argentina sangat tergantung pada kemampuan Messi dan mungkin sedikit keberuntungan seperti saat mengalahkan Belanda. Namun faktanya dewi fortuna tidak sudi mampir seperti yang diharapkan penggilanya.
Ketika tendangan bebas terakhir di menit 120 yang diambil Messi, puluhan ribu penonton dan mungkin jutaan pemuja Messi di Argentina dan seluruh dunia mengharapkan keajaiban tendangan lengkung khas Messi sebagai asa mukjizat yang mungkin terjadi untuk menyamakan skor. Namun dari raut muka sang kapten tidak menunjukkan keyakinan, karena dia sadar jarak tembak yang cukup jauh dan kiper yang dihadapinya pun adalah calon peraih Golden Glove. Maka dengan keraguan seperti ini melayang tinggilah harapannya dan mungkin harapan berjuta mesiah di penjuru dunia. Inilah takdir tim yang dimotori seorang peraih Ballon d’ Or tiga kali, kalah oleh tim yang mampu bermain secara kolektif bagai sebuah unit mesin yang sulit untuk dihentikan.
Para pengamat mengingatkan bahwa Jerman sekarang bukanlah Jerman yang dulu: cenderung kaku dan membosankan. Namun Jerman yang sekarang permainannya lebih aktraktif dengan penguasaan bola ala Spanyol dan teknik ala Brasil namun lebih bertenaga. Evolusi permainan yang dimulai dari era Klinsmann ini yang terus dimodifikasi oleh Loew. Walaupun gagal di edisi PD sebelumnya, pengurus sepakbola Jerman (DFB) masih mempercayainya untuk satu tujuan akhir: merebut piala dunia.
Sejak banyaknya kegagalan era 1990-2000, banyak hal yang dilakukan oleh DBF untuk mengembalikan sepakbola negaranya karena menyadari bahwa sepakbola sudah menjadi industri di negaranya. Namun langkah berbeda dilakukan DFB dengan federasi sepakbola negara-negara Eropa lainnya antara lain menyangkut sistem pembinaan, kompetisi dan kepelatihan.
Berkaca pada kegagalan di PD 1994 dimana Jerman kalah oleh Bulgaria yang notabene banyak mencari makan di Bundesliga, maka DFB me-reset kembali sistem pembinaan dan kompetisi di negerinya. Bukanlah hal yang mudah karena terjadi polemik kepentingan terutama bisnis sepakbola itu sendiri. Namun sikap ketegasan dan niat untuk mengembalikan kejayaan sepakbola maka jalan tersebut harus ditempuh. Klub harus mengikuti aturan untuk mengembangkan akademi dan membatasi pemain asing. Awalnya memang sedikit suram, liga menjadi kurang greget dan liga Jerman dianggap liga kelas dua dibandingkan liga Italia, Inggris dan Spanyol yang bertaburan pemain bintang. Di Indonesia pun liga Jerman hanya tayang di TVRI yang hampir tidak ada iklan. Namun buah usaha itu kini mereka rasakan dengan memanen begitu banyaknya talenta muda Jerman yang mengisi timnas Jerman.
Orang bahkan mungkin baru sadar, jika sebagian bintang-bintang muda tersebut ternyata lebih memilih klub Bayern Muenchen daripada langsung berkiprah di liga-liga lain, karena DFB ingin menciptakan miniatur timnas Jerman yang ada pada klub Muenchen. Terbukti di final kali ini kita seolah-olah melihat Bayern Muenchen versus Argentina Selections karena Loew memainkan 7 pemain Muenchen menghadapi Argentina sehingga soliditas tim asudah Loew terjaga.
Dalam hal terhadap proses transfer ke luar Jerman, DFB sangat concern dan cenderung enggan merestui proses tersebut dan mengarahkan transfer para pemain bintang ke Bayern Muenchen. Contohnya adalah kepindahan Manuel Neuer dari Shalcke-04 dan Mario Gotze dari Dortmund ke Muenchen yang justru merupakan rival dan seteru kedua klub tersebut. Padahal banyak klub EPL, Liga Italia dan Liga Spanyol yang ingin merekrutnya. Kita juga bisa melihat proses transfer bintang-bintang muda lainnya seperti Toni Kroos, Julian Drexler, Matt Hummels dan Julian Drexler yang sepertinya cukup sulit untuk bisa lepas dari Bundesliga. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemain asli Jerman akan dilindungi mati-matian untuk bertahan di Bundesliga sementara blasteran memiliki peluang yang besar untuk bermain di luar Jerman seperti Ozil & Podolski (Arsenal), Klose (Lazio) dan Mustafi (Sampdoria) dan Khedira (Real Madrid).
Nampaknya DFB ingin agar seluruh pemain yang dipanggil timnas menyatu dalam kultur sepakbola Jerman. Inilah yang membedakan dengan tim-tim lain seperti Brasil, Perancis, Belanda, Inggris dan Argentina. Banyak pemain muda yang menghuni timnasnya, tapi tidak sematang pemain-pemain muda Jerman yang sudah paham bermain sebagai sebuah tim, bukan secara individu. Brasil dan Argentina terlalu menggantungkan harapan pada sosok Neymar dan Messi. Sementara Belanda, Perancis dan Inggris sama-sama menggantungkan harapannya pada sosok bintang yang sudah menjelma selebritas seperti Robben, van Persie, Benzema dan Rooney. Sementara di tim Jerman sendiri tidak menonjolkan superstar, namun karakter pemain mereka menonjol dan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan keikhlasan para pemain untuk merelakan posisinya demi tim karena meratanya kekuatan pemain inti dan cadangan. Seorang Mertesacker sekalipun yang lebih pengalaman rela tempatnya digantikan oleh Mats Hummels. Begitu juga dengan Podolski yang tempatnya diambil oleh supersub Schurrle.
Lalu di sisi kepelatihan, orang Jerman tidak pernah latah seperti negara lain untuk merekrut pelatih asing karena mereka sangat percaya diri bahwa mereka memiliki sumberdaya pelatih yang hebat. Ketika Klinsmann meletakkan jabatan dan DFB menunjuk Joachim Loew, orang mungkin bertanya siapa sih Loew?
Sebelum menjadi asisten Klinsman pada tahun 2004-2006, Loew pernah melatih beberapa klub antara lain VFB Stuttgart (1996-1998), Fenerbache (1998-1999), Karlsruher SC (1999-2000), Adanaspor 2000-2001, Wacker Innsbruck, 2001-2002 dan Austria Wien 2002-2004. Prestasinya bersama klub pernah membawa VFB Stuttgart menjadi juara DFB Pokal 1997, Runner-up DFB Liga Pokal, runner-up UEFA Cup Winners Cup 1997/1998 dan memenangi Austria Wien juara Super Cup 2003. Prestasi yang menurut ukuran Jerman bukanlah prestasi yang mengagumkan untuk ukuran seorang pemain dan pelatih jika dibandingkan dengan Franz Beckenbauer atau Sepp Maier. Lalu mengapa Loew lantas dipercaya?