(Kenalan dulu, saya adalah seorang street fotografer yang spesifik menyukai mengambil ekspresi wanita yang sedang kesepian di pinggir jalan... biasanya yang saya potret adalah orang yang tidak saya kenal, atau belum...)
Jadi kalau kamu pakai lensa tele, itu tidak perlu diajari apapun, bukankah kamu ke jalanan untuk memotret burung di pohon atau apartemen yang kebakaran.
Saya pernah melakukan percobaan yang sangat tidak ilmiah. Saya ingin mencoba memotret cewek yang lagi melamun nunggu ojek online, lima kali saya motret dengan basa-basi "permisi, boleh saya potret", dan lima kali saya langsung potret tanpa ba bi bu. Hasilnya? Semua cewek yang saya mintai permisi, pada menolak, melengos, bahkan kabur.Â
Yang tanpa permisi? Semuanya berhasil, saya dapat foto, karena itu tujuannya. Perkara mereka bakal melengos itu gak masalah, toh foto sudah didapat. Lebih baik mana, kena tolak dan gagal dapat foto, atau sedikit kena semprot tapi dapat foto? Lagipula, setelah itu kamu tinggal tersenyum, minta maaf, dan katakan kamu adalah fotografer jalanan.
Ya, Eric Kim pernah mengajari saya sebuah hal kecil namun sangat signifikan. "Mengucap maaf setelah mengambil foto jauh lebih mudah dan lebih produktif, daripada mengucap permisi sebelum mengambil foto."
Jadi perlu apa tidak? Sekali lagi bergantung keadaan dan situasi sekitar.
Jangankan oleh teman, diri sendiri saja bertanya, apakah dengan mengambil foto orang dari jarak dekat dan tanpa permisi itu mengganggu?
Kemudian saya coba menganalisis, bila memang mengganggu, apanya. Saya tidak bisa dibilang mencuri foto karena orangnya tahu kok, saya semeter di depan dia, kalau ngambil dari jarak 20 meter pakai lensa tele itu baru mencuri, saya lebih suka disebut merampok... haha.
Acapkali ketika saya coba-coba untuk permisi sebelum memotret orang asing, saya pasti bilang "apakah anda keberatan dan terganggu jika saya memotret anda...?" ya biasanya bisa dijawab iya bisa juga tidak. Untuk meyakinkan orang tersebut, saya siap memperlihatkan isi galeri foto-foto yang pernah saya ambil, akun Instagram saya, dan bahkan saya selalu bawa kartu nama yang ada embel-embel "street fotografer".
Itu dia, selagi saya yakin saya mengambil foto orang tersebut untuk kesenian, saya olah sebaik mungkin, dan bahkan mungkin dia jadi terkenal, mengapa saya merasa bersalah dan merasa telah merugikan orang.Â
Umur dia tidak berkurang karena kena jepret, lagian dia era selfie ini, orang mengambil foto wajahnya sendiri puluhan kali sehari, apa ruginya ketika dia kena potret oleh seorang lebih cakap memegang kamera dan mengolah foto?
Beberapa bulan lalu saya pernah bersitegang dengan dua orang pengemudi ojek online. Biasa, saya motret malam hari, pikiran logis tentu saja kalau gelap mesti diberi cahaya dong. Saya pakai flash, motret di trotoar, rada susah karena itu trotoar buat jalan penuh sama motor ojek yang parkir. Saya motret cewek lewat... flash... terang. Eh si ojeknya marah-marah, "jangan pakai flash dong, mengganggu orang!" hardiknya.Â
Saya jawab aja, saya nembak flash mungkin setiap 15 menit karena populasi cewek cantik jarang, lah dia parkir di trotoar berjam-jam, ratusan orang dirugikan karena harus jalan di jalur kendaraan.
Ah, intinya sih, kamu tidak mengganggu kok. Kalau pun iya, hanya sedikit.
- penulis adalah pegiat street fotografi asal Bandung, terkadang memberikan seminar tidak ilmiah -