Sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia dikenal ramah tamah oleh seluruh dunia. Bangsa Indonesia dengan segala potensinya memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Salah satunya adalah suka berbagi. Berbagi tidak harus dengan harta benda atau uang, tetapi masih banyak hal yang bermanfaat ketika dibagikan kepada orang lain.
Berbagi seperti berbagai informasi, wawasan dan berbagai ilmu pengetahuan bahkan berbagi senyum adalah sebuah nilai positif yang dimiliki oleh bangsa ini
Saking baiknya bangsa kita tidak terasa tangan-tangan jahil mencengkeram ekonomi, sumber daya alam dan nilai-nilai budaya bangsa sehingga kian hari kian tergerus nyaris tak tersisa. Bangsa asing kemudian mengambil manfaat dari kekayaan budaya, sumber daya alam yang ada di indonesia ini. Sementara bangsa sendiri terpuruk dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Lalu apa yang terjadi ketika segelintir orang mulai sadar bahwa kita dalam kondisi yang kurang menguntungkan? Ternyata tidak semua orang tersadarkan karena kebanyakan sudah di ninabobokan oleh kebiasaan. Mereka kira bahwa kesejahteraan dan kecukupan yang dirasakannya juga dirasakan oleh seluruh warga bangsa. Padahal kenyataannya hanya segelintir orang saja yang menikmatinya.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Pertama kali adalah memperbaiki diri masing-masing, mulai dari keluarga, masyarakat terdekat, hingga bangsa. Dan itu bisa dilakukan dengan kembali memprioritaskan pendidikan. Tidak boleh ada warga yang putus sekolah, berhenti mondok dan hilang kesempatan untuk berjuang secara mandiri.
Selain itu yang dibutuhkan adalah jiwa-jiwa entrepreneurship, wirausaha yang mampu menggerakkan martabat bangsa. Kalau bisa seluruh warga bisa berwirausaha. Minimal tertanam dalam benaknya jiwa entrepreneur, karena dengan adanya jiwa ini maka dia sudah memiliki bekal yang bagus untuk meningkatkan dirinya masing-masing dalam hal kesejahteraan, pendidikan dan ke bermanfaatannya.
Bagaimanapun juga tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah memberi jauh lebih bermartabat daripada hanya menerima apalagi meminta minta. Mulai dari berfikir pikirkanlah bagaimana caranya memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Karena kalau sudah tertanam maindset seperti ini maka timbul semangat baru untuk mengasah film trofi kepedulian sosial kepada sesama.
Karena ibadah itu tidak sebatas sholat dan baca Qur'an, melainkan ada ranah sosial yang lebih  di kebermanfaatannya. Ini bisa dimulai dari sejak saat ini. Mulailah dari diri sendiri, komunitasnya komunitas kecil hingga kepada warga bangsa secara menyeluruh.
Mengapa harus ditanamkan mental pemberi bukan penerima ataupun minta-minta karena ketika kita berhasil memberikan sesuatu manfaat kepada sesama secara hati nurani terasa nikmat.
Nelum lagi disadari atau tidak mereka yang menerimanya pun merasa bahagia karena merasa sudah terbentuk dengan pemberian walaupun yang diberikan itu tidak harus selalu uang, tidak mesti selalu harta, terkadang hal-hal lain seperti motivasi keterampilan bahkan hingga senyuman pun dapat membantu untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
Hari ini selama kurang lebih 5 jam komunitas kecil kami mengadakan kopdar yang intinya sering motivasi strategi dan silaturahmi tidak banyak yang hadir walaupun semestinya tidak sedikit orang-orang yang memiliki waktu libur semua itu dimaklumi karena setiap orang sebenarnya punya pemikiran masing-masing termasuk kesibukan yang dialami sebahagian warga karena setelah idul fitri biasanya para warga disibukkan dengan tetangganya yang akan mengadakan hajatan.
Saya teringat buku ustad yusuf mansur yang berjudul di power of giving. Buku ini mengisyaratkan kepada kita bagaimana pentingnya berbagi (amalan sedekah). Betapa dahsyatnya kalau kita benar-benar memohon kepada Allah dibarengi dengan membuat membaca shalawat. Yuk sharing, berbagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H