Bukan hanya menimbulkan rasa cinta, hikmah sering membacanya akan membantu proses menghafalkannya. Jadi, walaupun kita tidak menyengaja untuk menghafal seperti di pondok pesantren Tahfidz, otomatis akan hafal dengan sendirinya.Â
Contoh sederhana bagaimana orang tua kita bisa hafal Yasin padahal tidak pernah menghafalkannya. Rahasianya karena mereka rutin membacanya setiap malam Jum'at.
Walaupun demikian, ketika tradisi ini dievaluasi memang cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, personil anak-anak mudanya semakin berkurang. Sementara orang tua pun seolah tak betah berlama-lama duduk di musholla. Mereka selalu kelihatan ingin segera kembali ke rumah.
Tak salah, kemajuan teknologi telah mengalihkan sebagian besar fokus kita. Program hiburan televisi telah melekat meninabobokan kelalaian umat.Â
Smartphone telah mencuri quality time para kaula muda. Bermedsos ria lebih mereka sukai daripada tilawah Berjama'ah. Kalau konsidi sekarang sudah seperti ini, bagaimana nasib anak cucu kita ke depannya.
Harus ada upaya strategis dari berbagai pihak, baik keluarga maupun aparat setempat. Misalnya dibuat perdes tentang wajibnya gerakan Maghrib mengaji. Waktu dari Maghrib sampai isya tidak boleh menyalakan televisi, handphone dan sebagainya. Ganti dengan mengaji. Harus ada kebersamaan antara anak dengan orang tua, ulama dengan Umaro, aparat dengan rakyat.
Maka tradisi khataman 27 Ramadhan ini harus dilestarikan. Bahkan harus lebih ditingkatkan. Baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Jangan berhenti di tanggal 27 bulan Ramadhan, tapi berlanjut ke bulan-bulan berikutnya. Ini Penting dan genting saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H