Mohon tunggu...
Robani
Robani Mohon Tunggu... PNS -

Guru pada MTsN 12 Kuningan Kec. Hantara, Kuningan Marketing Eksekutif PayTren pada PT. Veritra Sentosa International, Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Bahagiakah Petani "Zaman Now"?

27 Mei 2018   20:46 Diperbarui: 27 Mei 2018   21:09 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngabuburit sore tadi saya gunakan untuk mengajak istri bersilaturahmi ke seorang teman yang tengah berbahagia dengan kehadiran jagoan yang keduanya. Mudah-mudahan menjadi anak yang sholeh, berguna, dan mendapatkan kebahagiaan di sini dan di akhirat sana. Amin

Setelah kami berkunjung ke rumahnya bersama istri dan anak tercinta tiba-tiba suara adzan Ashar menghentikan percakapan kami. Dan kami menyambutnya dengan gembira seraya bergegas menuju mushola. Momen ini kami manfaatkan saja untuk mengarahkan anak agar terbiasa sholat berjamaah. 

Memang mendidik anak itu tidak mudah. Butuh kerja keras, kesabaran, keuletan dan strategi khusus supaya anak-anak itu mau diajak beribadah. 

Dengan iming-iming nanti akan diajak ke curug setelah sholat. Alhamdulillah anakku mau ikut shalat berjamaah. Di desa kami ada beberapa obyek wisata, salah satnya curug sanghyang namanya. Kami memang tidak bermaksud membohongi sang anak. Walhasil setelah silaturahmi ke teman kemudian kami menyusuri jalan untuk menuju lokasi wisata budaya dan wisata alam yang ada di desa kami.

Sudah lama memang kami tidak datang ke sini lagi. Nampak di kanan kiri tanaman sayuran ternyata ada juga tanaman perdu buah-buahan. Sewaktu ke sini dulu masih belum kelihatan, sekarang kami lihat sudah berbuah. Ada jambu dan jeruk yang kami lihat. Mudah-mudahan ini juga menjadi salah satu sumber rejeki bagi warga desa. Selain dari pertanian berupa sayur-sayuran.

Jalan yang kami lewati tidak  semulus yang dibayangkan. Karena di tengah-tengah tanjakan motor ini tidak mampu menopang berat badan kami bertiga. Akhirnya mau tidak mau istriku harus mengalah turun. Kasihan banget memang. Baru saja menginjakka kaki di lokasi ini sudah harus kena musibah. Tapi raut muka sabar terpancar di wajahnya ini yang bikin saya tenang dan bahagia.

Oh iya saat menulis ini saya dan sang anak sedang berada di tengah sawah istilahnya, ngabuburit menunggu waktu maghrib sambil bertadarus juga mencari inspirasi dari alami yang indah dari pesawahan yang baru saja ditanami dengan sayuran bawang daun.

Saya memang sudah akrab dengan dunia pertanian, karena saya lahir di sini. Orang tua saya juga petani tulen. Hanya saja secara jujur saya belum begitu lihai dalam bertani sehingga walaupun diam di wilayah pertanian saya tidak otomatis terampil dalam bertani. Jadi saya hanya bisa nonton saja.

Saat di perjalanan tadi saya bertemu dengan bapak tani yang baru pulang dari berladang. Istri pun berkomentar betapa bahagianya seorang petani. Saya pun merespon bahwa memang dari wajahnya nampak bahagia. Begitulah emang petani itu harus bahagia.

Kenapa petani harus bahagia?
Dalam bahasa Arab petani itu disebut Alfallah. Derivasi kata ini sekar dengan seruan muadzin ketika hendak memanggil para kaum muslimin untuk sholat berjamaah. Hayya'alal Falah, marilah kita menggapai kebahagiaan dan keberuntungan.

Jadi hakikatnya petani itu memang mesti bahagia harus untung. Dan itu memang terjadi ketika jaman dulu, sebelum invasi kapitalisasi pertanian. Ketika para petani masih bercocok tanam normalnya dengan tiga musim, ada saatnya musim sayur dan ada masa menanam padi dan sebagainya.

Ketika masa kecil dulu yang paling menggembirakan itu saat panen padi. Betapa di sana-sini orang tersenyum. Mereka menikmati hasil jerih payahnya beberapa bulan yang lalu menanam, menyiram, memelihara dan memupuk hingga akhirnya bisa di panen. Mereka tidak harus beli beras kota karena ada pasokan dari sawah.

Tapi apakah sekarang masih seperti itu? Kita lihat dulu, ternyata telah terjadi perubahan paradigma di masyarakat. Pola pikir materialistis telah merebak. Di mana segalanya pakai uang, sehingga ketika bercocok tanam pun memilih tanaman yang cepat menghasilkan uang.

Dan itu memang terbukti sejak beberapa tahun yang lalu. Ketika para petani memilih tanaman tertentu dalam hal ini bawang daun yang memang waktu panennya cukup singkat dan bisa menghasilkan uang yang cukup melimpah. Tetapi itu pun tidak selamanya berhasil, karena petani tidak bisa bermain di harga. Pada yang masa tertentu untung banyak, namun saat lainnya justru sebaliknya.

Kenapa? Karena untuk bercocok tanam itu sekarang tidak cukup dengan modal 100-200 ribuan, tapi butuh jutaan. Mulai dari membeli bibit, pupuk dan obat-obatan yang harganya semakin melambung. Untung kalau ketika dipanen harga naik, tapi kadang-kadang tak terduga. Pada waktu menanam harga naik, beli bibitnya juga harga mahal tapi ketika dipanen harga merosot jatuh.

Maka terkadang mengerikan. Tanaman yang dari kecil dirawat sedemikian rupa, namun ketika sudah mau dipanen harga jatuh. Bagi orang-orang yang tidak berfikir jauh, tanaman itu sampai disabit habis  bahkan dikubur. Sungguh mubadzir. Padahal kalau bisa berfikir panjang, tanaman tersebut bisa dimanfaatkan. Mungkin disedekahkan kepada orang yang tidak memiliki sayuran. Misalnya diberikan kepada tetangga atau saudara-saudara di desa lain yang tidak punya tradisi pertanian.

Jadi, kalau ada pertanyaan apakah petani masih bahagia saat ini? Mungkin jawabannya kebahagiaan itu sudah berkurang karena akibat cengkraman kapitalisasme, materialisme dan hedonisme. Petani tidak bisa bertahan jika tak memiliki modal besar. Makanya saya juga berpikir-pikir dulu untuk terjun ke pertanian. 

Walaupun demikian harapan untuk kembali tetap bahagia harus ada dan terus diperjuangkan. Para petani harus berani mengubah pola pikir agar bisa sukses dan bahagia. Karena petani sejatinya profesi yang paling berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun