Mohon tunggu...
Robani
Robani Mohon Tunggu... PNS -

Guru pada MTsN 12 Kuningan Kec. Hantara, Kuningan Marketing Eksekutif PayTren pada PT. Veritra Sentosa International, Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengasah Toleransi Keumatan

25 Mei 2018   10:30 Diperbarui: 25 Mei 2018   10:29 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengenal mengenal kebhinekaan. Sebagaimana semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika, yang bermakna walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua. 

Itu yang saya pahami sejak belajar di Sekolah Dasar. Tentunya Anda lebih tahu kebhinekaan apa saja yang ada di Indonesia. Mulai dari suku bangsa, bahasa, agama, budaya, adat istiadat, tarian khas daerah hingga makanan khas daerah dan lain-lain. Pokoknya kalau bicara Indonesia pasti komplit.

Karena Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya.

Akan tetapi, apakah perbedaan tersebut menjadi alasan untuk berpecah belah? Jawaban pastinya TIDAK. Justru dengan adanya perbedaan yang variatif itu bukti kekayaan bangsa dan bisa saling menguatkan satu sama lain. Ibarat pelangi, dikatakan indah dipandang karena munculnya perbedaan warna. Kalau tidak begitu, maka bukan pelangi dan tidaklah sedap dipandang.

Permasalahannya adalah bagaimana mendewasakan masyarakat untuk bisa menyikapi segala perbedaan itu dengan positif. Bagaimana menginternalisasikan pemahaman bahwa di atas segala perbedaan tadi ada satu persamaan yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia. Apakah persamaan itu? Diantaranya seperti yang dideklarasikan dalam 3 poin sumpah pemuda, yaitu

1. Berbangsa satu bangsa Indonesia

2. Bertumpah darah satu tanah air Indonesia

3. Berbahasa kesatuan bahasa Indonesia.

Oke itu sekilas perbedaan dari segi bangsa. Dan intinya, kedepankan  sikap tasamuh (toleransi) di antara kita. Dan perlu diketahui bahwa dari sejumlah kebhinekaan tadi saja bisa dianalisis lagi menjadi beberapa perbedaan sekunder lainnya. Saya ambil contoh dalam agama saya, agama Islam.

Islam adalah agama rahmat. Agama yang mengajarkan perdamaian. Dan saya yakin semua agama sejatinya pasti mengajarkan perdamaian. Agama Islam memiliki rujukan utama sebagai sumber hukum (source of law) dan pedoman hidup (guidance of life) yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah atau al Hadist. 

Di dalam menafsirkan kedua rujukan tersebut terdapat perbedaan di kalangan ulama yang memiliki otoritas ilmiah.

Apakah lantas perbedaan penafsiran itu menjadikan mereka bermusuh-musuhan? Tentu tidak demikian. Karena mereka sudah berbekal kekuatan iman ilmu dan akhlak. Ketiga kekuatan inilah yang membuat mereka mampu berfikir secara dewasa sekaligus memberi contoh kepada para penerusnya di kemudian hari, termasuk kita.

Perbedaan adalah rahmat ketika mampu disikapi dengan bijaksana. Sebaliknya jika keliru menyikapi, maka yang tertinggal adalah "kiyamat" di antara umat. Poin penting perbedaan-perbedaan ini adalah kedewasaan berpikir bagi setiap orang yang berbeda pendapat.

Kita punya contoh konkret bagaimana keindahan bisa hadir dalam perbedaan. Misalnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mazhab yang empat dalam hal qunut subuh, imam Syafi'i berpendapat qunut harus dawam dalam shalat shubuh sementara yang lain berbeda pendapanya.

Jika menengok ke zaman sebelumnya. Kita dapati perbedaan pendapat pula di antara para sahabat Rasulullah Saw. Seperti sahabat Abu Bakar As Siddiq yang selalu berprinsip saklek sesuai contoh Rasulullah sedangkan sahabat Umar bin Khattab berprinsip lebih kreatif. Tetapi kedua-duanya direkomendasikan oleh Rasulullah Saw.

Ternyata hikmah besar dari perbedaan pendapat mereka sejatinya menjadi solusi dalam praktek ibadah dan muamalah masa kini. Hanya saja karena kebanyakan orang kurang belajar, maka pemahaman mereka terhadap perbedaan itu sangat dangkal. 

Efeknya energi negatif yang kadang merambah sebagian orang dengan saling menyalahkan, saling membid'ah-bid'ahkan, bahkan hingga saling mengkafirkan. Naudzubillah.

Sungguh mengherankan terkadang ada saja oknum masyarakat yang membuat suasana keruh musiman. Contohnya musim bulan Ramadhan seperti sekarang, ketika umat khusus dengan  shalat tarawihnya mereka menghembuskan isyu bahwa sekian roka'at bid'ah, menyesatkan, dan sebagainya. Padahal di sisi lain yang hitungan roka'at sekian dan yang berbeda itu memiliki hujjah ilmiah yang dipegang oleh masing-masing.

Dan perbedaan nya juga ditingkat elit seperti para sahabat dan tabi'in imam madzhab. Sedangkan kita yang hidup di zaman ini hanya sepersekian persen saja dari kualitas keilmuan dan kesalehan mereka. Tidak pantas sok lebih  pintar dari mereka. Intinya permasalahan ini terletak pada tataran metodologi saja.

Tetap jaga persatuan umat dan bangsa dengan mengedepankan toleransi.

Nah kegiatan ibadah Ramadhan ini mestinya menjadi wasilah kita untuk mengasah hati dan pikiran secara bijaksana agar memiliki toleransi di antara umat islam. Jangan terbalik kepada non muslim sangat toleran, sementara kepada sesama muslim intoleran. Padahal toleransi keumatan itu dapat melahirkan kekuatan. Dan kekuatan ini akan memacu dan memicu kaum muslimin dalam menggapai cita-cita bersama.

Jadi harus ada keberimbangan antara toleransi antar umat beragama, toleransi keumatan antar umat seagama, dan termasuk toleransi antar umat beragama dengan pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah harmoni, sinergi, dan bermartabat.

Memang tidaklah mudah mendewasakan masyarakat yang sudah terlanjur menjadi korban kebiasaan yang negatif. Akan tetapi ketika edukasi dilakukan secara masif oleh berbagai pihak baik ulama maupun Umaro maka harapan untuk mewujudkan semboyan bhinneka tunggal ika itu pasti mudah terlaksana. 

Sebenarnya itu sudah terlaksana untuk ukuran bangsa kita yang besar dibanding dengan bangsa-bangsa yang lain. PRnya bagaimana mempertahankannya agar yang sudah baik ini semakin berkualitas.

Dan sebagai umat beragama, saya yakin untuk memunculkan harapan besar sebagai bangsa itu dimulai dari diri umat beragama. Kenapa? Pertama karena agama itu merupakan pondasi. 

Khususnya bagi bangsa Indonesia, sila pertama itu berbunyi Ketuhanan yang maha esa. Artinya tidak ada hak bagi orang yang tidak beragama di Indonesia. Sehingga beragama itu wajib bagi orang Indonesia. Masalah agamanya apa,itu terserah masing-masing. Bagi orang islam hidayah Allah yang menuntun setiap orang untuk menjadi penganut agama islam.

Mari bersama kita jadikan Ramadhan ini sebagai wahana untuk mendidik diri, keluarga dan masyarakat agar dapat mengasah sikap toleransi. Mulai dari toleransi keumatan, agar bangsa Indonesia tetap jaya dan warganya selamat dunia akhirat. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun