Apakah lantas perbedaan penafsiran itu menjadikan mereka bermusuh-musuhan? Tentu tidak demikian. Karena mereka sudah berbekal kekuatan iman ilmu dan akhlak. Ketiga kekuatan inilah yang membuat mereka mampu berfikir secara dewasa sekaligus memberi contoh kepada para penerusnya di kemudian hari, termasuk kita.
Perbedaan adalah rahmat ketika mampu disikapi dengan bijaksana. Sebaliknya jika keliru menyikapi, maka yang tertinggal adalah "kiyamat" di antara umat. Poin penting perbedaan-perbedaan ini adalah kedewasaan berpikir bagi setiap orang yang berbeda pendapat.
Kita punya contoh konkret bagaimana keindahan bisa hadir dalam perbedaan. Misalnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mazhab yang empat dalam hal qunut subuh, imam Syafi'i berpendapat qunut harus dawam dalam shalat shubuh sementara yang lain berbeda pendapanya.
Jika menengok ke zaman sebelumnya. Kita dapati perbedaan pendapat pula di antara para sahabat Rasulullah Saw. Seperti sahabat Abu Bakar As Siddiq yang selalu berprinsip saklek sesuai contoh Rasulullah sedangkan sahabat Umar bin Khattab berprinsip lebih kreatif. Tetapi kedua-duanya direkomendasikan oleh Rasulullah Saw.
Ternyata hikmah besar dari perbedaan pendapat mereka sejatinya menjadi solusi dalam praktek ibadah dan muamalah masa kini. Hanya saja karena kebanyakan orang kurang belajar, maka pemahaman mereka terhadap perbedaan itu sangat dangkal.Â
Efeknya energi negatif yang kadang merambah sebagian orang dengan saling menyalahkan, saling membid'ah-bid'ahkan, bahkan hingga saling mengkafirkan. Naudzubillah.
Sungguh mengherankan terkadang ada saja oknum masyarakat yang membuat suasana keruh musiman. Contohnya musim bulan Ramadhan seperti sekarang, ketika umat khusus dengan  shalat tarawihnya mereka menghembuskan isyu bahwa sekian roka'at bid'ah, menyesatkan, dan sebagainya. Padahal di sisi lain yang hitungan roka'at sekian dan yang berbeda itu memiliki hujjah ilmiah yang dipegang oleh masing-masing.
Dan perbedaan nya juga ditingkat elit seperti para sahabat dan tabi'in imam madzhab. Sedangkan kita yang hidup di zaman ini hanya sepersekian persen saja dari kualitas keilmuan dan kesalehan mereka. Tidak pantas sok lebih  pintar dari mereka. Intinya permasalahan ini terletak pada tataran metodologi saja.
Tetap jaga persatuan umat dan bangsa dengan mengedepankan toleransi.
Nah kegiatan ibadah Ramadhan ini mestinya menjadi wasilah kita untuk mengasah hati dan pikiran secara bijaksana agar memiliki toleransi di antara umat islam. Jangan terbalik kepada non muslim sangat toleran, sementara kepada sesama muslim intoleran. Padahal toleransi keumatan itu dapat melahirkan kekuatan. Dan kekuatan ini akan memacu dan memicu kaum muslimin dalam menggapai cita-cita bersama.
Jadi harus ada keberimbangan antara toleransi antar umat beragama, toleransi keumatan antar umat seagama, dan termasuk toleransi antar umat beragama dengan pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah harmoni, sinergi, dan bermartabat.