Komisi II DPR RI telah mengesahkan 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu periode 2022-2027 pada hari Jum'at (18/2/2022). 7 anggota KPU adalah Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Mochammad Afifudian, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, August Mellaz. 5 anggota Bawaslu adalah Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono, Herwyn Jefler Hielsa Malonda.Â
Keduabelas nama tersebut selanjutnya diserahkan kepada Presiden untuk dilantik. Sementara itu, jabatan KPU dan Bawaslu RI akan berakhir pada tanggal 11 April 2022.
Keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu RI masing-masing hanya satu orang. KPU 14% (1 dari 7 anggota), Bawaslu hanya 20% (1 dari 5 anggota).Â
Lalu, bagaimana ini? Dalam UU 7/2017 mengatur komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu 'memperhatikan' keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.Â
Dari sinilah persoalan normatifnya. Saya tidak membahas sebab dari sisi lainnya seperti isu budaya patriarki dan sebagainya. Karena terdapat bahasa konstitusi yang bunyinya lebih jelas yaitu kalimat 'memperhatikan' keterwakilan perempuan.
Tentu akan beda jika kalimatnya 'wajib' memilih anggota KPU dan Bawaslu minimal 30% keterwakilan perempuan. Bahasa 'memperhatikan' juga kontra dengan ketentuan bahasa lainnya dalam UU Dasar 1945, misalnya kata 'setiap orang atau setiap warga negara' Indonesia yang berarti  laki-laki dan perempuan sama haknya. Namun, faktanya seperti itu. Keterwakilan perempuan di KPU hanya 1 dari 7 dan Bawaslu hanya 1 dari 5.
Jika mau berubah sampai minimal keterwakilan 30%, maka harus di rubah juga UU Pemilunya. Perubahan mindset budaya patriarki di masyarakat juga penting untuk memilih anggota DPR RI kedepan agar mencapai minimal 30% perempuan.Â
Berdebat soal ini tentu akan panjang dan mulut berbusa-busa. Saya lebih memilih sebab yang realistisnya saja; rubah dulu Undang-undangnya dari 'memperhatikan menjadi wajib'.
Keterwakilan perempuan di DPR RI hasil Pemilu 2019 mencapai 20,52% (118 orang) dari 575 kursi di DPR RI. Laki-laki 79,48% (457 orang). dari sisi jumlah sedikit, akan sedikit pula jumlah suara perempuan di DPR dalam membahas sesuatu. Saya tidak tahu jumlah anggota perempuan di komisi II DPR RI yang memilih anggota KPU dan Bawaslu RI.Â
Yang jelas, keterwakilan perempuan hasil Pemilu 2019 DPR RI (20,52) adalah yang terbanyak dalam sejarah Pemilu sejak 1955, kata banyak sumber begitu.Â
Dibanding jumlah keterwakilan perempuan pada hasil Pemilu 2019 hanya 17,32% (97 orang). Masih butuh perjuangan keras untuk sampai kuota minimal 30% di DPR. Dari Pemilu 2024 mendatanglah kesempatan merubah jumlah keterwakilan perempuan agar lebih besar lagi.
Dari sini juga, merubah mindset budaya patriarki masyarakat. Menjadi tugas semua pihak tentunya mulai dari pemerintah, partai politik, kampus, ormas dan sebagainya. Karena jika itu tugas penyelenggara Pemilu, maka akan kontraperspektif regulasi dasar konsitutusi Pemilu yaitu; persamaan hak 'setiap orang atau setiap warga negara' yang sudah memiliki hak politik untuk dipilih dan memilih, tidak membedakan jenis kelamin.Â
Menjadi ranahnya masyarakat untuk memilih keterwakilan perempuan menjadi 'calon legislatif' maupun berperspektif pentingnya memilih calon legislatif yang perempuan.Â
Perempuan memilih calon yang perempuan agar keterwakilan di DPR menjadi banyak. Jika wakilnya banyak, maka lebih mudah memperjuangkan hak-hak perempuan.
Jika melihat jumlah daftar pemilih antara laki-laki dan perempuan tidaklah selisih banyak. Bahkan rasional saja jika jumlah calon legislatif dan keterwakilan di DPR RI seimbang misalnya 50-50.Â
Syaratnya, dimulai dari seimbangnya jumlah yang mengajukan diri sebagai calon legislatif, dan mindset budaya patriarkinya hilang. Kata 'mempertimbangkan' juga sebenanarnya dapat dipahami 'wajib' dari sisi semangat dan rasa keadilan, tinggal mau apa tidak anggota DPR RI yang laki-laki memahaminya seperti itu?.
Hemat saya, perdebatan sedikitnya jumlah keterwakilan kuota perempuan di KPU dan Bawaslu RI disudahi. Jelang Pemilu, lebih baik bicara kepada Partai Politik agar mendorong dan menfasilitasi calon legislatif yang didaftarkan ke KPU seimbang kuota laki-laki dan perempuan.Â
Masalahnya, dalam UU Pemilu Caleg yang di daftarkan ke KPU juga dengan istilah 'memperhatikan' keterwakilan perempuan, bukan 'wajib'. Taruhlah itu sudah dipenuhi oleh partai politik sebagai kewajiban dalam pencalonan dan dikontrol oleh KPU sebagai persyaratan Pencalegan sudah terpenuhi.Â
Tinggal, partai politik juga mendorong Pemilih untuk lebih banyak memilih calon perempuan. Tapi jangan mewajibkan perempuan memilih perempuan, laki-laki memilih laki-laki, menjadi bias.Â
Terlebih, persamaan hak dan kesejahteraan warga bangsa adalah untuk semuanya tanpa membedakan jenis kelamin. Kuota keterwakilan minimal 30% hanya alat. Yang lebih penting adalah 'pemahaman' keadilan perempuan oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri. Perspektif dari kaum perempuan juga harus clear, jangan sampai kaum perempuan malah tidak berpemahaman 'perempuan', wah ini tambah berat.
Sederhananya begini, jika keterwakilan perempuan di DPR RI itu 50-50% maka akan dengan mudah menyusun UU dengan perspektif keadilan perempuan.Â
Bahkan dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaranya berbasis keadilan jenis kelamin. Kesimpulanya; rubah dulu UUnya dan rubah dulu mindset budaya patriarkinya. Saya kira, inilah kedua 'hulu'nya. Tidak hanya bicara regulasi, namun bicara nasib dan kesejahteraan perempuan dalam keseharian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H