Mohon tunggu...
Badruz Zaman
Badruz Zaman Mohon Tunggu... Human Resources - Penghobi olah huruf A s.d. Z

Pengharap Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Minim Wakil Perempuan di KPU dan Bawaslu RI, Salah Siapa?

19 Februari 2022   06:25 Diperbarui: 19 Februari 2022   06:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari sini juga, merubah mindset budaya patriarki masyarakat. Menjadi tugas semua pihak tentunya mulai dari pemerintah, partai politik, kampus, ormas dan sebagainya. Karena jika itu tugas penyelenggara Pemilu, maka akan kontraperspektif regulasi dasar konsitutusi Pemilu yaitu; persamaan hak 'setiap orang atau setiap warga negara' yang sudah memiliki hak politik untuk dipilih dan memilih, tidak membedakan jenis kelamin. 

Menjadi ranahnya masyarakat untuk memilih keterwakilan perempuan menjadi 'calon legislatif' maupun berperspektif pentingnya memilih calon legislatif yang perempuan. 

Perempuan memilih calon yang perempuan agar keterwakilan di DPR menjadi banyak. Jika wakilnya banyak, maka lebih mudah memperjuangkan hak-hak perempuan.

Jika melihat jumlah daftar pemilih antara laki-laki dan perempuan tidaklah selisih banyak. Bahkan rasional saja jika jumlah calon legislatif dan keterwakilan di DPR RI seimbang misalnya 50-50. 

Syaratnya, dimulai dari seimbangnya jumlah yang mengajukan diri sebagai calon legislatif, dan mindset budaya patriarkinya hilang. Kata 'mempertimbangkan' juga sebenanarnya dapat dipahami 'wajib' dari sisi semangat dan rasa keadilan, tinggal mau apa tidak anggota DPR RI yang laki-laki memahaminya seperti itu?.

Hemat saya, perdebatan sedikitnya jumlah keterwakilan kuota perempuan di KPU dan Bawaslu RI disudahi. Jelang Pemilu, lebih baik bicara kepada Partai Politik agar mendorong dan menfasilitasi calon legislatif yang didaftarkan ke KPU seimbang kuota laki-laki dan perempuan. 

Masalahnya, dalam UU Pemilu Caleg yang di daftarkan ke KPU juga dengan istilah 'memperhatikan' keterwakilan perempuan, bukan 'wajib'. Taruhlah itu sudah dipenuhi oleh partai politik sebagai kewajiban dalam pencalonan dan dikontrol oleh KPU sebagai persyaratan Pencalegan sudah terpenuhi. 

Tinggal, partai politik juga mendorong Pemilih untuk lebih banyak memilih calon perempuan. Tapi jangan mewajibkan perempuan memilih perempuan, laki-laki memilih laki-laki, menjadi bias. 

Terlebih, persamaan hak dan kesejahteraan warga bangsa adalah untuk semuanya tanpa membedakan jenis kelamin. Kuota keterwakilan minimal 30% hanya alat. Yang lebih penting adalah 'pemahaman' keadilan perempuan oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri. Perspektif dari kaum perempuan juga harus clear, jangan sampai kaum perempuan malah tidak berpemahaman 'perempuan', wah ini tambah berat.

Sederhananya begini, jika keterwakilan perempuan di DPR RI itu 50-50% maka akan dengan mudah menyusun UU dengan perspektif keadilan perempuan. 

Bahkan dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaranya berbasis keadilan jenis kelamin. Kesimpulanya; rubah dulu UUnya dan rubah dulu mindset budaya patriarkinya. Saya kira, inilah kedua 'hulu'nya. Tidak hanya bicara regulasi, namun bicara nasib dan kesejahteraan perempuan dalam keseharian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun