Sederet bantuan keuangan yang masuk ke desa dari tahun ke tahun begitu banyak dan besar. Mulai dari DD, ADD, dan bantuan langsung telas untuk warga. Ada PKH, BPNT kabupaten/provinsi/Kemensos, BLT Dana Desa, BLT Kemensos, BST kementerian/kemensos, jaminan lanjut usia, raskin, kartu sembako, subsidi kebutuhan rumah tangga, bedah rumah, kredit lunak, bantuan dan subsidi dampak Pandemi Covid-19, dan sebagainya sampi saya tidak tahu semua jenis bantuan secara komprehenisf. Ya pokoknya sudah banyak program pembangunan infrastruktur di desa dan bantuan keuangan langsung yang diterima warga.
Pembangunan sudah sejak lama dimulai dari desa sejak era otonomi daerah (pasca reformasi) sampai detil dalam UU Desa (2014). Â Bantuan keuangan dan program pembangunan desa semakin tertata. Meskipun terdapat banyak ironi seperti 'pajak sosial' urunan semakin besar dan langgeng saja. Muncul prioritas pembangunan infrastruktur desa seperti jalan dan irigasi resmi milik desa. Fasilitas jalan stapak milik warga desa tetap saja urunan karena tidak masuk dalam peta desa. Masjid, musholla, RT tetap saja butuh kas yang bersumber dari iuran warga.
Saya, tidak hendak mengkritisi pengelolaan keuangan di desa maupun konsep negara kesejahteraan; begitu banyak program guyuran keuangan secara langsung maupun tidak langsung ke pemerintah desa maupun warganya. Tetap saja status wilayah miskin dan pajak sosial tinggi. Padahal pajak resmi pemerintah mulai dari pajak pengahsilan, pajak bumi dan bangunan, pajak makan di restauran, pajak pembelian barang, pajak kendaraan sampai pajak sabun dan shampo telah dikenakan dan terbayarkan.
Perspektif Pemilu atau hak politik warga untuk 'memilih' masih memiliki PR untuk membuat segaris lurus dengan hak warga dalam 'mengawasi pembangunan'. Baik dalam sekala mengawasi 'program' nasional, regional, daerah sampai ke desa. Itu konsekuensi hasil Pemilu, Pilkada dan Pilkades secara politik (hak politik). Program hasilnya didukung dengan keuangan negara.Â
Hak memilih pemimpin dan wakil rakyat termasuk kepala desa segaris lurus dengan hak mengawasi mereka para pemimpin terpilih dalam menjalankan program dan janji kampanye dengan keuangan negara. Dua hal itu yang melenakan kita. Seolah, dengan terbukanya hak warga untuk mengawasi pembangunan 5 tahunan hasil Pemilu dan Pilkada atau 6 tahunan untuk desa, sudah dianggap selesai.
Padahal, 'kesejahteraan' adalah hak konstitusional setiap warga negara. Segaris lurus dengan hak 'memilih' dalam Pemilu. Dia telah memilih, maka dia berhak mendapatkan hasil program dari pemimpin yang telah dipilihnya. Disisi lain, fakir miskin di pelihara dalam arti dijamin oleh negara dari sisi mendapat berbagai bantuan keuangan, tidak melihat memilih atau tidak memilih. Hak memilih jika tidak digunakan dalam Pemilu/Pilkada/Pilkdaes juga tidak berpengaruh terhadap kewajiban negara menjamin rakyatnya yang msikin.
Titik persimpangan yang sangat sulit di kontrol adalah perubahan status warga. Hari ini msikin, setelah sekina lama mendapat berbagai bantuan dan peluang usaha bisa jadi hari esok tidak miskin lagi, naik kelas menjadi 'kelas menengah' yang sudah jelas pendapatan ekonominya mampu bertahan hidup dengan layak, bahkan menjadi kaya.Â
Di sisi lain, yang sekarang cukup (ekonomi menengah) bisa jadi hari esok jatuh miskin. Entah kerana usahanya bangkrut, aset kekayaan orang tua habis, di PHK, penisun dari pekerjaan swasta karena umur, dan sebagainya. Hari ini cukup, hari esok menjadi (terancam) miskin karena sesuatu. Dua titik persimpangan inilah menjadikan prgram bantuan keuangan pemerintah tidak efektif.Â
Menguap di persimpangan. Angka kesejahteraan bertambah, tapi angka kemiskinan juga bertambah. Keduanya karena status dan keadaan yang dinamis dan berubah karena faktor 'x'. Akhirnya, tetap saja angka miskin tidak turun, malah meningkat. Peningkatan terlihat dari keluarga 'miskin' yang mengembang bercabang karena pernikanan anak cucunya; angka kemiksinan dari keluarga miskin membengkak seketika secara kolektif di banyak wilayah padat penduduk basis angka miskin.
Kuncinya, negara harus mampu meneteksi dengan baik perubahan status ekonominya keluarga miskin menjadi tidak miskin lagi setelah mendapat berbagai macam bantuan pemerintah, dan mendeteksi keluarga yang 'menengah' tidak mendapat berbagai bantuan keuangan kemudian hari jatuh miskin karena keadaan seperti usaha bangkrut, pensiun kerja swasta, dan sebagainya.Â
Negara kesejahteraan (welfare state) umumnya tidak melihat orang kaya dan aparatur negara sebagai pihak yang perlu di hawatirkan. Karena mereka semua sudah cukup ekonominya. Tidak ada istilah mereka kaya karena diri sendiri. Mereka menjadi kaya tetap karena difasilitasi oleh Pemerintah seperti ASN, pinjaman modal pengusaha dari bank pemerintah, izin usaha, izin pembukaan lahan, izin penambangan dan sebagainya. Itulah mengapa, negara lebih memperhatikan keluarga miskin. Konsep 'kesejahteraan' dari negara yang dipegang sampai saat ini.