Oleh Nur Azis
Hari ini Sofia melangsungkan janji sucinya. Tidak denganku, tapi dengan Ardian, sahabatku sendiri. Bahkan dulu, waktu kami sama-sama kuliah di Semarang, aku dan dia satu rumah kontrakan. Aku paham betul siapa Ardian. Laki-laki ambisius, yang tekun dan selalu bekerja keras untuk meraih segala keinginannya.
Iya, termasuk keinginannya untuk menikahi Sofia, yang dia rebut dari aku. Wanita terindah, yang kehadirannya selalu membuatku seperti di tengah-tengah taman nirwana. Pandangan matanya, indah sekali seperti purnama di malam yang penuh bintang.
Bukan baru kemarin aku menjalin asmara dengan Sofia. Sudah sangat lama, kurang lebih empat tahunan, sejak kami sama-sama masih dibangku kuliah. Persis, aku, Ardian dan Sofia dulu kami bersahabat.
Tapi entahlah, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Aku mencintai Sofia, pun dia juga mencintaiku. Memang setelahnya, ada yang sedikit berbeda dengan sikap Ardian, tapi menurutku bukan karena dia juga mencintai Sofia. Nyatanya anggapanku salah. Dia sama sepertiku, Ardian juga suka dengan Sofia.
Sama halnya dengan hubungan asmara yang lain. Tentu tak selamanya berjalan indah. Pasti ada kerikil-kerikil yang sesekali menghalangi langkah kita. Bukankah itu sudah biasa. Demikian juga hubunganku saat itu dengan Sofia, ada pertengkaran kecil dan salah-salah paham semua masih bisa kita atasi bersama.
Namun tidak saat itu. Sofia benar-benar marah. Kalung emas yang ada ukiran namanya dan namaku dalam liontin berbentuk hati, yang aku hadiahkan di hari ulang tahunnya, di lempar keras kemukaku. Tak pernah kulihat dia semarah ini.
Sofia memakiku. Mengataiku laki-laki keparat. Dia bilang, bahwa aku telah mengkhianati kesetiaannya. Aku benar-benar bingung. Tak ada hujan tak ada badai tiba-tiba di marah seperti kesetanan. Sampai-sampai, aku tak diberikan kesempatan untuk membela diriku, atau sekedar mengkonfirmasi apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Setelahnya dia menangis. Ingin aku memeluknya, mengusap air mata di pipinya. Tapi tak mungkin, aku seperti sebuah monster jahat di hadapannya. Di sofa putih samping meja tamu, dia sandarkan tubuhnya. Seperti melepaskan nafas yang lama dia tahan.
Terus, isak itu tak mau berhenti. Aku hanya terdiam, bingung, masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi. Setan apa yang sedang merasuki kekasihku. Hingga dia ambil handphone dari sakunya. Dia lemparkan kepadaku. Untunglah, aku cukup sigap untuk menagkanya.
Dengan nada membentak, dia memintaku melihat konten di handphonnya. Aku turuti keinginannya. Ada fotoku, itu aku dengan Lidya teman sekantorku. Aku masih belum sepenuhnya percaya, tidak mungkin aku seranjang dengan Lidya. Aku merasa tidak pernah berbuat itu. Pun dengan Sofia, aku juga tidak pernah melakukan hal yang sangat tidak pantas itu.