0 Advanced issues found▲
Malam itu, seorang teman datang mengajak diskusi. Diskusi tentang zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dia termasuk salah satu yang tidak sepakat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB, yang di dalamnya mengatur sistem zonasi.
Tentu, dengan banyak asumsi. Dan, saya menerima itu. Karena warga negara yang baik harus menghargai pendapat orang baik. Dia termasuk orang baik. Kenapa? Karena tidak semua orang peduli dengan sistem pendidikan kita. Dan, dia peduli. Buktinya, dia masih senang diskusi tentang pendidikan. Tentang sistem zonasi, yang menjadi bagian dari pendidikan kita saat ini.
Malam terus berlarut. Dingin. Dia tetap sikukuh dengan pendapatnya. Yang tidak sepakat dengan sistem zonasi. Alasannya simpel. Menurutnya, sistem zonasi membatasi anak berkompetisi. Baginya, masuk sekolah favorit dengan persaingan nilau ujian nasional (NUN) dan tes, menjadi salah satu kompetisi yang fair. Sehingga anak akan berlomba-lomba menjadi yang terpintar. Yang tidak pintar terpental. Menerima nasib di sekolah yang tidak favorit.
Saya terus mendengar pendapatnya. Meski sebagian hanya asumsi. Benar baginya, belum tentu benar bagi orang lain. Itu biasa dalam diskusi. Karena dalam diskusi tidak ada menang dan kalah. Ibarat padi yang ditumbuk bersamaan. Semakin digesek, maka semakin banyak menghasilkan butiran-butiran biji padi yang mengelupas. Menjadi beras. Terpisah dari lasnya (kulit padi). Begitu juga dengan budaya diskusi. Meski banyak perbedaan pendapat, tapi banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa kita dapat. Termasuk tulisan ini. Juga hasil dari diskusi. Hehehe...
Sebagai orang yang sependapat dengan sistem zonasi. Saya sampaikan, sistem zonasi itu sangat bagus. Karena subtansi dari sistem zonasi adalah pemerataan pendidikan. Tidak ada perbedaan sekolah favorit dan nonfavorit, unggulan dan nonunggulan.
Dengan sistem zonasi, semua menjadi sama. Tidak ada fovorit-nonfavorit, unggulan-nonunggulan. Keadilan sosial bagi seluruh siswa Indonesia. Tidak ada diskriminasi pendidikan antara siswa pintar dan tidak pintar. Sekarang, dengan sistem zonasi, anak yang dengan kepandaian pas-pasan dan rizki orang tua yang juga pas-pasan, bisa masuk di SMPN 1 dan di SMAN 1.
Nah, inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab seorang pendidik. Bagaimana memintarkan anak yang belum pintar, dan bagaimana membimbing anak agar sesuai dengan bakatnya. Karena sekali lagi, siswa diciptakan Tuhan dengan bakat yang berbeda-beda.
Tapi kan dengan adanya sekolah favorit dan unggulan membuat siswa bisa berkompetisi. Siswa akan berkompetisi melaui jalur NUN dan tes tulis? Kata dia dengan paradigma nilai. Baginya, siswa pintar hanya diukur dengan nilai UN dan nilai tes.