Mohon tunggu...
Kang Asmul
Kang Asmul Mohon Tunggu... -

Kang Asmul adalah lulusan “kampus ndeso” dan pernah “nyantri” di kampus yang sunyi di Eropa Utara. Selain bekerja sebagai peneliti di lembaga sampiran negara, Kang Asmul juga mengabdi sebagai kepala sekolah madrasah aliyah di sebuah desa perbatasan. E-mail: kangasmul786@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Mengerjakan” Indonesia dari Desa

11 Juni 2014   14:53 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:15 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402447851667491462

[/caption]

Pada 25 Mei 2014 lalu saya didaulat menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah (sekolah setingkat SLTA) Fathurrohman yg terletak di Desa Binangun, Kota Banjar, Jawa Barat. Sekolah ini berdiri di bawah Yayasan Fathurrohman, yayasan yang mengasuh 93 anak2 yatim, yatim-piatu, dan terlantar. Sebelumnya saya sempat menjadi guru relawan di Madrasah Tsanawiyah (sekolah setingkat SLTP) yang diasuh yayasan yang sama.

MA Fathurrohman sendiri baru akan beroperasi pada Juli 2014. Saat ini kami sedang merampungkan bangunan sekolah (baru satu kelas). Dalam rapat-rapat persiapan pembentukan MA Fathurrohman dengan calon-calon guru, saya menegaskan visi saya dalam melihat sekolah. Saya tidak ingin menjadikan sekolah ini seperti sekolah kebanyakan yang mengajarkan peserta didik untuk “pergi”. Saya ingin membangun sekolah yang mengajarkan peserta didik untuk menggali dan mengembangkan segala potensi sumber daya di desa, sehingga mereka bisa hidup mandiri di desa, tidak pergi ke kota, dan tak tercerabut dari akar sosialnya di desa.

Lebih lanjut, kepada para calon guru di Madrasah Aliyah (MA) Fathurrohman, saya menegaskan bahwa saya ingin madrasah aliyah yang mendidik anak-anak rentan (yatim, yatim piatu, dan terlantar) ini betul-betul gratis; punya mutu akademik tinggi yang terjaga; dapat menggaji guru honorer di atas Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK); memiliki perpustakaan yang lengkap; punya taman yang indah dan nyaman sebagai tempat belajar dan diskusi; punya lahan dan kegiatan untuk melakukan kegiatan ekonomi-produktif-kreatif, dapat mencetak siswa dengan spirit kewirausahaan yang tinggi; dapat mengembangkan tradisi probono (voluntarisme/kesukarelaan dan gotong royong) di kalangan guru, siswa, dan masyarakat sekitar.

Untuk semua tujuan itu, kita butuh dukungan dana besar. Lha, dari mana dana itu? Donasi pihak luar? Kirim proposal ke pemerintah untuk mendapat bagian dana APBD/APBN? Selama ini yayasan memang bergantung pada donasi dari luar, baik perorangan, badan usaha, maupun pemerintah. Ya, barangkali sebagai awalan kami butuh donasi dari luar. Tapi ke depan, saya ingin yayasan dan sekolah ini bisa mandiri dan menghidupi dirinya sendiri. Itulah sebabnya saya ingin sekolah yang berbasis pada nilai-nilai kewirausahaan.

Sekolah ini harus menjadi tempat belajar bagi siswa untuk dua hal: (1) dapat menggali dan mengembangkan segala potensi sumber daya yang ada di desa; (2) dapat merajut berbagai keahlian yang dibutuhkan untuk bisa hidup mandiri di desa: keahlian bertani, berkebun, beternak, bengkel, keahlian membangun usaha, keahlian menciptakan produk kreatif, serta keahlian-keahlian lainnya. Semua kegiatan ekonomi kreatif itu dikelola oleh sebuah koperasi yang betul-betul bekerja sebagai koperasi. Nah, ketika kami bisa membangun semua itu, maka kami tidak hanya menjadikan yayasan dan sekolah ini dapat menghidupi dirinya sendiri, tapi bahkan dapat menggerakkan roda ekonomi, merajut pilar sosial, dan menganyam fondasi budaya yang kokoh di desa.

Itulah visi kami dalam membangun sekolah. Langkah kami memang tidak berdampak langsung dan besar bagi sebuah perubahan sosial. Rute yang kami tempuh demikian sunyi, mikro, dan lokal. Yup, kami sesungguhnya sedang “mengerjakan” Indonesia dari desa. Tentu kami tak bisa jalan sendiri jika hendak melangkah jauh. Perlu bergandeng tangan, butuh berjejaring, harus bersinergi dengan semua pihak. Seturut pepatah Afrika: “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together”.

Pada senja yang makin temaram itu, kami menegaskan bahwa kami tak ingin menjadikan sekolah kami sebagai pabrik yang mencetak skrup-skrup kecil dari sebuah mesin besar yang eksploitatif. Kami ingin sekolah ini memproduksi mesin-mesin besar yang dapat menggerakkan energi kolektif untuk kemanusiaan dan peradaban yang mulia. Bukankah itu tujuan kita beragama dan bernegara?

Semoga Tuhan menganugerahi kami sepotong kesabaran dan ketekunan. “Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikman nasir” (Cukuplah Allah sebagai penolong, dan Allah sebaik-baik pelindung).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun