"Ayah... beli permen."
Saya yang sedang santai di sore itu sambil menikmati kopi dan sepotong kerupuk (kombinasi yang membingungkan) langsung menoleh.
"Beli permen, Ayah," anak saya Kanaya yang sering disebut Korea kembali meminta.
Awalnya saya mau menolak. Bukan apa-apa, permen adalah salah satu jajanan yang memang harus dibatasi. Bagi anak kecil permen adalah makanan dari surga, rasa manisnya bisa memanjakan lidah dan juga kadang membetahkan anak yang sedang rewel. Namun, efek permen terutama yang menggunakan pemanis buatan bisa menyebabkan penyakit salah satunya adalah merusak gigi.
Belum lagi saya ingin melarang dan membujuk dengan makanan yang lebih sehat, mata saya sudah tertuju kepada sebuah dagangan yang dikerubuti anak-anak tetangga di depan rumah.
"Ayah, Naya mau permen itu." Tangan Kanaya menunjuk juga ke arah dagangan itu.
Dari jauh saya sudah tahu kalau itu memang pedagang permen keliling. Tapi ada yang istinewa di sore itu dalam pandangan saya, yakni yang dijualnya mengingatkan saya dengan masa kecil beberapa puluh tahun lalu. Uhuk... #batukmodeon
Permen itu adalah permen gulali.
Ingatan saya langsung terbang ke tika saya duduk di sekolah dasar. Setiap jam istirahat sekolah atau bahkan pulang sekolah saya dan beberapa teman selalu mampir di jajanan yang ada di luar sekolah. Salah satu jajanan yang paling diminati adalah permen gulali tadi.
Mengapa diminati? Ya, sebenarnya di warung sekolah banyak juga menjual permen dan dengan uang 100 rupiah (zaman dulu lo yah) saya bisa mendapatkan empat permen. Jenisnya bisa macam-macam, hanya saja bentuknya kalo gak bulat, lonjong, ya yang paling mainstream ya kotak.
Nah, bayangkan kalo ada permen yang bisa dibentuk jadi bunga atau binatang. Bayangkan juga permen yang selain bisa diemut juga bisa ditiup dan menghasilkan bunyi seperti pluit. Yang bisa, waktu itu, hanya permen gulali. Makanya saya selalu senang membeli permen gulali ini dan bentuk atau model permen yang saya suka dalah ayam dan burung.
"Berapa, Bah?" tanya saya sambil mengambil satu permen gulali berbentuk kupu-kupu.
"Seribu," jawab Abah Gulali, begitu ia mau dipanggil setelah kita berkenalan dan sebenarnya nama asli Abah Gulali ini adalah Ahmad, sambil tangannya asyik memainkan gula panas menjadi berbagai bentuk. Kebetulan anak saya memesan model ikan yang dibuatkan oleh Abah Gulali lengkap dengan tali yang terikat di bambu, seolah-olah ikan itu habis terpancing.
Di lain kesempatan ada pula anak tetangga yang memesan model bunga. Di bunga itu diberi susu cokelat. "Abah jualnya keliling ke sekitar sini aja," katanya kemudian.
"Bahannya?"
"Ini mah, sederhana. Hanya gula asli dan ada pewarna kue. Kalau bukan gula asli gak bisa dibeginiin."
"Sejak kapan, Bah, jualannya?" saya mencicipi permen gulali berbentuk kupu-kupu itu.
"Wah, sudah dari tahun 70-an," katanya dengan masih terus mengambil gula berwarna hijau atau merah yang dipanaskan di wajan."Yang beli dulu sekarang sudah jadi nenek-nenek dan sekarang yang beli cucu-cucunya," seloroh Abah Gulali dengan profesi yang sepertinya setia dijalani.
Saya tersenyum sedikit. Ingatan saya masih tersisa dengan bayang-bayang masa kecil dan dengan permen gulali ini.
Maka jadilah di sore itu saya dan anak saya menemani permen gulali buatan Abah Gulali...
Besok mau cari es goyang ah, gumam saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H