"Berapa, Bah?" tanya saya sambil mengambil satu permen gulali berbentuk kupu-kupu.
"Seribu," jawab Abah Gulali, begitu ia mau dipanggil setelah kita berkenalan dan sebenarnya nama asli Abah Gulali ini adalah Ahmad, sambil tangannya asyik memainkan gula panas menjadi berbagai bentuk. Kebetulan anak saya memesan model ikan yang dibuatkan oleh Abah Gulali lengkap dengan tali yang terikat di bambu, seolah-olah ikan itu habis terpancing.
Di lain kesempatan ada pula anak tetangga yang memesan model bunga. Di bunga itu diberi susu cokelat. "Abah jualnya keliling ke sekitar sini aja," katanya kemudian.
"Bahannya?"
"Ini mah, sederhana. Hanya gula asli dan ada pewarna kue. Kalau bukan gula asli gak bisa dibeginiin."
"Sejak kapan, Bah, jualannya?" saya mencicipi permen gulali berbentuk kupu-kupu itu.
"Wah, sudah dari tahun 70-an," katanya dengan masih terus mengambil gula berwarna hijau atau merah yang dipanaskan di wajan."Yang beli dulu sekarang sudah jadi nenek-nenek dan sekarang yang beli cucu-cucunya," seloroh Abah Gulali dengan profesi yang sepertinya setia dijalani.
Saya tersenyum sedikit. Ingatan saya masih tersisa dengan bayang-bayang masa kecil dan dengan permen gulali ini.
Maka jadilah di sore itu saya dan anak saya menemani permen gulali buatan Abah Gulali...
Besok mau cari es goyang ah, gumam saya.