Mohon tunggu...
M. Hafizhuddin
M. Hafizhuddin Mohon Tunggu... Aktor - Kang Apis

Anggota Komunitas Tidur Berdiri di KRL

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Riyanti Teresa Gunadi, Memupuk Asa Anak Papua

7 Januari 2016   09:34 Diperbarui: 7 Januari 2016   17:36 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir Agustus 2012, sebuah tulisan di harian Kompas menarik perhatian Riyanti Teresa Gunadi. Gadis kelahiran 17 Februari 1994 itu serius menyimak tulisan yang menyoroti pendidikan di salah satu daerah di Papua. Di sana diceritakan, minimnya fasilitas pendidikan membuat anak-anak harus berbagi bangku. Satu bangku bisa sampai ditempati tiga anak. Riyanti lalu memperhatikan sekeliling rumahnya, di mana ia memiliki bangku yang tidak terpakai. Saat itulah ia tergugah untuk menyumbangkan bangkunya.

"Di sini saya kelebihan, di sana mereka kekurangan. Pas, kan? Saya berpikir, pasti bukan saya saja yang di rumahnya memiliki barang tidak terpakai, kalau didistribusikan ke Papua dapat menjadi barang bermanfaat," kenang Riyanti.

Ide ini pun ia sampaikan kepada rekan-rekannya di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Bak gayung bersambut, idenya tersebut didukung penuh. Setelah melakukan beragam diskusi dan pertukaran gagasan, muncullah gerakan bernama Satu Ton Untuk Papua (STUP) yang diresmikan pada 18 Oktober 2012. Nama tersebut diawali dari ide Riyanti dan rekan-rekan untuk mengumpulkan barang-barang untuk disalurkan ke Papua dengan menggunakan satuan berat terbesar, "ton". Hal itu sekaligus pralambang besarnya kepedulian dan perhatian mereka untuk Papua.

Seiring berjalannya waktu dan banyaknya diskusi yang mereka lakukan, tujuan STUP tak sekadar menyumbangkan barang, tapi juga mendorong anak-anak Papua untuk bercita-cita tinggi. "Fokus tidak lagi untuk memberikan barang, namun filosofi "ton" sebagai simbol besarnya kepedulian, perhatian, besarnya mimpi, masih kami gunakan hingga saat ini," tutur Riyanti.

Sebenarnya Papua adalah sesuatu yang asing bagi Riyanti. Kala itu ia masih menganggap Papua merupakan pulau misterius karena terbilang jauh dari tempat tinggalnya. Ia sama sekali tak pernah punya keterkaitan dengan Papua. Maka dari itu ada sedikit keheranan ketika ia tanpa ragu mencetuskan ide untuk membuat gerakan ke Papua.

Pada akhirnya kemisteriusan itu justru membuat ia makin penasaran dan makin menggebu untuk berkontribusi sesuai kemampuan yang ia miliki. Riyanti mantap untuk membantu memupuk asa anak-anak Papua.

Honai Mimpi

Pada Januari 2013, Riyanti pun berangkat ke Papua mewakili STUP untuk melakukan survey lokasi. Saat itu ia dibantu Daniel Alexander dari Yayasan Pendidikan Desa Terpadu (Pesat) yang sudah memiliki cabang di Nabire, Papua. Untuk menuju sana, Riyanti berangkat melalui jalur laut menggunakan KM Labobar selama enam hari.

Di Nabire, ia berkesempatan mengunjungi Desa Bomomani dan berinteraksi dengan anak-anak setempat. Riyanti meminta anak-anak itu menggambarkan mimpinya. Ternyata anak-anak Papua "hanya" punya tiga mimpi; pilot, guru, pastor.

"Di situ saya berpikir, jika semua anak Papua mau jadi pilot, guru, pastor, siapa yang jadi arsitek? Siapa yang jadi engineer di tanah mereka sendiri?" kata Riyanti.

Momen itulah yang membuat Riyanti mengubah tujuan. Sepulang dari Papua, ia menyampaikan hal ini dan lahirlah gagasan untuk mendorong anak-anak Papua lebih mengeksplorasi mimpinya. Hanya saja ia masih perlu mencari lokasi yang benar-benar membutuhkan, karena ia merasa sekolah-sekolah di Nabire sudah cukup mendapat perhatian, termasuk oleh gereja di sana. 

Survei melalui dunia maya pun dilakukan. Lalu terpilihlah Kampung Samenage, Kab. Yahukimo, Papua, sebagai lokasi proyek STUP. Riyanti dan rekan-rekannya gencar mencari bantuan dari berbagai pihak dengan membuka program donasi. Untuk menunjang visinya, STUP berencana untuk membangun "Honai Mimpi" di Samenage. Bangunan sederhana tersebut akan dijadikan rumah baca yang bisa dimanfaatkan warga setempat, khususnya anak-anak. Diharapkan mereka tidak asing dengan bangunan tersebut karena Honai sendiri adalah rumah adat Papua.

Setelah bantuan terkumpul dan persiapan cukup matang, Riyanti bersama Frinsoni Buaton Nainggolan mewakili STUP melaksanakan proyeknya ke Samenage pada 28 Desember 2013. Mereka disambut hangat oleh warga Samenage. Riyanti dan tim  mulai "menginvasi" sekolah dengan mengajar banyak hal, baik formal maupun informal. Mulai dari berhitung hingga penyuluhan pentingnya hidup sehat.

"Warga sangat kooperatif dan mendukung kegiatan kami. Yang paling nyata, Honai Mimpi dibangun seutuhnya dengan swadaya masyarakat dari orang dewasa sampai anak-anak. Kami tidak membayar sepeser pun. Orangtua juga mengizinkan anak-anaknya datang ke sekolah," ujar mahasiswi Hubungan Internasional Unpad ini.

Pembangunan Honai Mimpi memang dilakukan secara sukarela. Dimulai pada 4 Januari 2014, masyarakat memanfaatkan bahan-bahan yang dicari sendiri di hutan dan di sekitar lokasi. Hingga akhirnya fisik Honai Mimpi rampung pada 17 Januari 2014. Kepala Kampung Samenage saat itu mengundang warganya dan warga kampung lain untuk mengadakan syukuran peresmian Honai Mimpi. Pada saat itu pula secara simbolik Riyanti menyerahkan bantuan yang digalang STUP.

Tentu pembangunan Honai Mimpi tak sekadar jadi. Riyanti pun mengajak warga untuk melakukan dekorasi yang akan membuat suasana bangunan nyaman untuk dijadikan tempat belajar, bermain, dan bermimpi. Buku-buku dan mainan disusun sedemikian rupa agar mudah didata dan dijaga. Tak lupa kata-kata motivasi menjadi penghias yang diharapkan mampu membangkitkan asa. Riyanti begitu terkesan dengan semangat belajar anak-anak di sana meski dalam kondisi yang terbatas.

Riyanti menganggap Samenage adalah potret pendidikan daerah terpencil sesungguhnya. Kegiatan belajar mengajar dilakukan tidak menentu, karena hanya ada satu pengajar yang cukup sering bolak-balik ke kota untuk berbagai keperluan. Fasilitasnya pun minim. Selain itu, kemampuan anak-anak di sana bisa dianggap tertinggal jauh dibandingkan anak-anak setingkatnya di perkotaan.

"Misalnya, anak kelas 2 SD di kota, setidaknya di tempat saya sekolah dulu, sudah belajar perkalian pembagian. Tapi di Samenage, anak kelas 6 masih sulit membaca dan belum lancar penjumlahan," katanya prihatin.

Apa yang ia lakukan di usia yang masih cukup muda ini mendapat tanggapan yang begitu positif dari lingkungan sekitarnya. Banyak yang menganggap Riyanti adalah sosok yang menginspirasi karena perhatiannya kepada anak-anak yang membutuhkan. Maizal Walfajri, Koordinator STUP yang menggantikan Riyanti, mengungkapkan Riyanti sosok sosialis yang memiliki keteguhan dan pemikiran yang sekeras batu.

"Namun berhati selembut salju, peka terhadap lingkungan," kata Maizal.

Riyanti menganggap pengalamannya melalui STUP ini sangat berharga dalam kehidupan. Kini Riyanti memang tak lagi menjadi koordinator STUP. Namun ia tetap berkontribusi dalam gerakan ini meski tidak mau banyak mengarahkan karena ia yakin visinya tetap berjalan dengan baik, bahkan lebih. Riyanti tak berani menganggap apa yang dilakukannya sejauh ini telah membuat perubahan bagi Papua. Ia ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk mengambil kesempatan membantu membangun tanah Papua.

"Banyak orang Indonesia lebih bangga jika berpergian ke luar negeri. Saya sudah berkesempatan dua kali ke luar negeri, dan bagi saya Papua jauh lebih berkesan dari luar negeri," kata perempuan yang hobi berpetualang ini.

Foto-foto: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun