Mohon tunggu...
Andi Sahadja
Andi Sahadja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis yang Jarang Menulis

Lelaki biasa yang gemar menghimpun kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenapa Rasa Bosan Lebih Berbahaya Ketimbang Rasa Sakit?

30 April 2023   18:40 Diperbarui: 30 April 2023   18:47 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Coba bayangkan kamu dikurung dalam ruangan seperti ini selama satu hari penuh tanpa ada alat, permainan dan gawai.

Di ruangan ini, kamu hanya ditemani oleh mesin kejut listrik yang akan memberi kamu rasa sakit tanpa membuat kamu terbunuh. Apakah kamu akan mencobanya?

"Hanya orang bodoh yang akan melakukan itu!".

Saya yakin sebagian besar dari kita, terutama yang selalu mengedepankan logika dalam bertindak pasti akan mempunyai pemikiran semacam itu.

But unfortunately, hasil percobaan yang dilakukan di Maastricht University Belanda pada tahun 2016, menunjukkan fakta yang berbeda. Bagi mayoritas orang, rasa bosan merupakan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dan tidak tertahankan jika dibandingkan rasa sakit, sehingga apabila kita sedang mengalami situasi seperti di atas, besar kemungkinan yang akan kita lakukan adalah memilih untuk mencoba merasakan sensasi kejut listrik yang ada tersebut, alih-alih hanya terdiam tidak melakukan apa-apa.

Kesimpulan dari penelitian tersebut menjelaskan sekaligus menjawab kenapa perilaku melukai diri sendiri (self harm) sering dijumpai pada penghuni sel isolasi penjara (solitary confinement). 

Para narapidana yang ditempatkan di sel isolasi (yang jelas membosankan) ternyata mempunyai peluang  6,9 kali lipat lebih besar untuk melukai diri sendiri daripada narapidana lainnya.

Ilustrasi di atas menunjukkan begitu putus asanya otak kita untuk selalu mencari cara agar bisa kabur dari kejaran rasa bosan. Pernah punya teman yang saat dia stres lalu menyayat pergelangan tangan urat nadinya sendiri? Atau mencakar-cakar wajah dengan kukunya sendiri sampai berdarah?

Rasa bosan ini ternyata kalau lebih jauh ternyata selalu linear dengan stress. Dan stressing yang dirasakan setiap orang ini muaranya sama yaitu: pelarian dari rasa yang tidak suportif untuk otak. Tentu mediumnya berbeda-beda. Dan yang paling common dari situasi stress yang dipicu oleh rasa bosan adalah ya menyakiti diri sendiri.

Lalu, kenapa otak kita begitu punya kebencian terhadap rasa bosan?

Ternyata, hal ini disebabkan karena otak adalah organ yang bekerja dengan amat sangat unik. Otak manusia ini terdiri dari milyaran sel. Dan sel-sel tersebut selalu meng-create koneksi-koneksi baru dan rumit saat di-supply oleh beragam informasi yang masuk ke otak.

Disinilah keywordnya: INFORMASI.

Kebosanan, secara hakikat adalah ketiadaan informasi yang cukup signifikan bagi otak. Ketiadaan informasi ini mengakibatkan otak menjadi tidak saling terhubung lagi karena otak dipaksa berhenti untuk mencipta koneksi-koneksi yang rumit. Implikasinya, banyak sel otak menjadi tidak berfungsi, terutama sel otak yang berfungsi untuk memproses memori atau ingatan. Yang kemudian terjadi adalah, bagian otak tersebut menyusut dan mengecil lalu otak menjadi rusak permanen.

Ternyata eh ternyata, semua itu dilakukan karena memang otak punya "sense of protection" untuk selalu menjaga dirinya sendiri agar tetap "waras". 

Otak kita ini mempunyai mekanisme yang disebut "respon fight or flight" atau respons "berkelahi atau lari" yang mengatur perilaku kita untuk merespons situasi yang dianggap sebagai ancaman atau bahaya. Rasa sakit, seperti yang dirasakan ketika kita terluka, adalah sinyal bagi otak bahwa tubuh kita mengalami cedera atau bahaya potensial. 

Oleh karena itu, otak lebih memilih untuk memperhatikan rasa sakit dan memicu respon fight or flight yang meningkatkan kemampuan kita untuk bertahan hidup dan menghindari bahaya.

Dalam konteks ini, rasa bosan tidak direspons dengan intensitas yang sama seperti rasa sakit oleh otak. Itulah mengapa saat terdapat dua pilihan: antara menanggung rasa bosan dan rasa sakit, sebagian besar dari kita akan bertindak untuk memilih menanggung rasa sakit. Apapun itu jenisnya. Sakit bekerja, sakit belajar, sakit berolahraga, atau yang paling relate dengan kita adalah menangguh rasa sakit akan dipatahkan hatinya oleh seseorang yang paling kita cintai. Ya karena dalam rasa sakit itu terkandung beragam informasi yang bisa diproses oleh otak sehingga bisa membuatnya terus hidup dan bekerja ketimbang dibunuh oleh rasa bosan yang tidak membawa informasi apapun.

Pernah gak denger seorang teman bilang seperti ini:

"Secapek-capeknya orang bekerja, jauh lebih capek kita tidak bekerja dan gak ngapa-ngapain". Ungkapan itu bisa saja benar karena dalam keadaan seseorang "tidak ngapa-ngapain", otak dipaksa untuk berhenti bekerja untuk mencipta koneksi-koneksi baru. Otak dimatikan fungsinya. Dalam jangka panjang, ini akan berdampak pada kerusakan secara permanen dan absolut.

Ringkasnya, informasi = nutrisi untuk otak. Sebagaimana tubuh, ia akan rusak dan hancur apabila dalam kondisi malnutrisi alias kekurangan nutrisi, pun jika yang terjadi adalah kelebihan nutrisi, dampaknya tidak akan jauh berbeda. Ini menjadi jawaban kenapa di era obesitas informasi seperti sekarang ini banyak hoax merajalela. Orang-orang sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bias kebenaran. Post truth era. Intinya ya harus balance. Gak boleh kekurangan juga gak boleh kelebihan. Homeostasis!

Jangan lupa bosan hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun