Ada satu keresahan yang dipendam cukup lama dan ingin sekali penulis utarakan: bahwa kita (umat Islam) setidaknya sampai hari ini, masih terjebak dan belum bisa keluar dari buaian romantisme sejarah "Islamic Golden Age" pada abad ke 8 sampai 12. Kita masih diikat oleh rantai yang bernama "masa lalu" sehingga mayoritas dari kita gemar sekali dininabobokan oleh peristiwa yang telah lampau dan mengglorifikasinya sedemikian rupa untuk meraih "superioritas semu" atau "ilusi kedigdayaan" agar dipandang turut berkontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kenyataannya kita sedang "sakit menahun" akibat rantai yang mengikat dengan sangat kuat. Kita kerap membicarakan kekosongan tanpa makna. Kita hanya mengulang cerita tentang seluruh peristiwa di masa lalu dan membangga-banggakannya tanpa melakukan upaya apapun untuk "sembuh" dari kegilaan yang tidak kita sadari.
Tidakkah kita bosan mendengar komentar saat penemuan ilmiah atau teknologi terbaru diberitakan misalnya, kita (umat Islam) hanya bisa mengaku-ngaku dan mengatakan bahwa itu sudah ada di Alqur'an dari zaman ini di era ini. Atau pertanyaan menggelitik seperti: "Heh tau gak sih kamu kalo Barat itu ngambil ilmunya dari Islam? Kamu tau gak Algoritma itu orang Arab yg bikin? Jangan mau kena tipu sama Barat-Liberal. Sampek sini paham?" Dan komentar-komentar lain yang serupa dengan itu. Tidakkah kita jemu melihat berita yang menampilkan bahwa Islam sedang berkembang di Eropa--padahal itu bukan sepenuhnya atas kesadaran orang orang barat yang beralih ke agama Islam, tetapi justru faktor utamanya karena banyak Imigran yang datang dari Negara Negara Islam akibat konflik dan perang. Mereka sebetulnya hanya mencari suaka untuk berlindung agar bisa hidup aman dan damai. Lalu dengan bangga kita menumpang nama dengan berkata: "Islam sedang mengalami kemajuan di Eropa". Jujur saja, rasanya geli mendengar "kekosongan yang nyaring" seperti itu.
Ironinya, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir pada sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Mereka juga gemar membanggakan kejayaan Islam 1000 tahun yang lalu. Dimana pada era itu, ilmu pengetahuan diberikan panggung yang sangat megah, apresiasi tinggi dan perhatian yang luar biasa sehingga bisa berkembang pesat seiring dengan minat pada literasi yang juga meningkat drastis. Sementara sekarang? Sebagai seorang Muslim, apakah ada di antara kita sebagai pembaca berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam bidangnya masing-masing? Ataukah kita salah satu dari sekian banyak orang yang hanya berpikir "hidup cukup untuk hari ini, yang penting urep dan anak-anak bisa taat beragama?" Atau yang paling menjengkelkan, kita didoktrin untuk duduk pasrah "nrimo ing pandum" atas segala kemunduran dalam keadaan, baik secara ekonomi, sosial, finansial atau kehidupan personal.
Sebetulnya, jika diamati dengan seksama, peradaban maju yang diklaim Islam telah berkontribusi pada peradaban dunia seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Haytam dan Al Farabi, tidak muncul dari Mekah atau Madinah yang notabene merupakan tempat Islam dilahirkan, melainkan dari Irak, Suriah, Mesir, dan Spanyol. Wilayah-wilayah tersebut adalah pusat kebudayaaan dan peradaban Kristen pada saat itu, kemudian diambil alih oleh Islam melalui invasi jihadis pada zaman dinasti Abbasiyah tepatnya pada kepemimpinan khalifah Harun Al-Rasyid dan Al Ma'mun.
Khalifah Harun Ar-Rasyid yang memerintah sekitar tahun 786-809 M mendukung penuh para ilmuwan dan perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya. Beliau secara proaktif menggelontorkan dana untuk pembangunan rumah sakit, lembaga pelatihan medis, dan apotik. Kebijakan pro-sains ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Al-Ma'mun (813--833 M).Â
Pada masa kepemimpinannya, Al-Ma'mun juga mendirikan lembaga Baitul Hikmah yang bertugas untuk menerjemahkan buku-buku Yunani dan India kuno, menjadikan Bagdad di masa itu sebagai pusat ilmu pengetahuan pada abad pertengahan. Tidak seperti Bani Umayyah, yang mendiskriminasi non-Arab, Bani Abbasiyah kala itu justru memberi berbagai posisi penting dalam pemerintahan kepada orang-orang non-Arab, seperti Iran dan Turki. Hal ini memungkinkan dinasti Abbasiyah untuk melakukan adaptasi dengan pemerintahan dan budaya Persia yang sebelumnya memang sudah maju.
Ayolah, hentikan omong kosong ini. Kenapa sih kita hobi sekali menyandarkan diri pada masa lalu hanya untuk bisa mendapat pengakuan dari pihak luar bahwa kita pernah berjaya? Sadarkah bahwa kita ini tidak hidup di masa lalu. Persetan sekalipun kita adalah keturunan bangsawan tapi sekarang jatuh miskin semiskin miskinnya. Kita tidak akan bisa keluar dari kemiskinan hanya dengan berkata kepada semua orang yang kita temui "Hey, dulu aku adalah seorang keturunan bangsawan loh dan aku pernah berjaya di masa nya". Lalu setelah itu apa? It won't change u dude.Â
Realitas atau kenyataan tersebut serupa dengan keadaan umat Islam hari ini yang sedang mengalami "konstipasi ide" akibat dari defisit minat pada literasi (secara umum) untuk memajukan ilmu pengetahuan dan justru menjauh dari iptek serta mengarah pada pseudoscince atau kemunduran peradaban. Diakui atau tidak, fokus kita hari ini bertumpu hanya pada persoalan akhirat dan melupakan kenyataan bahwa kita sedang hidup di dunia. Bukankah dunia merupakan ladang untuk kehidupan akhirat? Hal ini menjadi kontradiktif tatkala banyak umat Islam yang justru mendestruksi keduniawian (ilmu pengetahuan). Ditambah, ilmu pengetahuan, praktisnya bisa memberi manfaat kepada banyak orang dan ini sejalan dengan dalil "Khairukum anfauhum linnas". Bahkan ayat pertama yang diturunkan dalam Alqur'an  adalah "Iqra" atau "Bacalah". Tetapi mengapa kita masih disibukkan pada persoalan mana halal dan haram lalu mendebatkannya secara kusir tanpa ada upaya untuk memikirkan tentang masa depan yang jauh lebih progresif demi kemajuan Islam itu sendiri?
Akibat dari perilaku kita semacam ini justru membuka ruang kepada konservatisme agar tumbuh subur layaknya ilalang di padang rumput. Bahwa selain mengajak duel kemajuan dan menawarkan kemuduran, konservatisme dalam agama juga mendobrak upaya kita untuk membawa Islam selangkah lebih jauh agar bisa tetap eksis di masa depan.
Overproud dan merasa superior karena kejayaan di masa lalu ini pada akhirnya membuat kita ditertawakan oleh orang lain (di luar Islam). Ketika dikritik, marah dan naik tensi. Tapi kalau tidak dikritik, juga masih tetap marah karena merasa pusat ilmu pengetahuan berubah haluan ke negara-negara barat yang mayoritas bukan Islam. Lalu mau kita apa sebenarnya?
Panjang umur kebaikan. Rahayu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H