Mohon tunggu...
Agus Salim Fajri
Agus Salim Fajri Mohon Tunggu... Guru - Belajar Setiap Saat

Lahir di Desa Kantan Muara, 25 Agustus 1991 *Riwayat Pendidikan: - SDN Kantan Muara 1 - SMPN 3 Pandih Batu - MAN Maliku - Universitas Palangka Raya. *Organisasi yang diikuti: - Pramuka - KNPI - Persaudaraan Setia Hati Terate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerja Bayar

22 Februari 2021   06:09 Diperbarui: 22 Februari 2021   06:29 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 90an atau sebelumnya, masih teringat bahwa gotong royong sering dilaksanakan oleh masyarakat di pedesaan. Masyarakat saling bahu membahu dalam segala hal. Kebersihan, keamanan, serta kegiatan-kegiatan sosial lain dilaksanakan secara bersama-sama. Ketika terdapat jalan yang rusak, maka masyarakat bersama-sama memperbaikinya. 

Itu dilaksanakan dengan atau bahkan tanpa komando. Apabila ada salah seorang mempunyai hajat untuk mendirikan rumah, yang lain datang membantu dengan suka rela. Rasa saling memiliki ditunjukkan dengan aksi nyata tanpa pamrih.

Dewasa ini dengan silih bergantinya generasi, budaya gotong royong agaknya mulai sedikit memudar. Hanya sebagian kecil anggota masyarakat yang ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan kerja bakti. Tidak seperti dulu lagi. Misalnya saja untuk membersihkan lapangan, masyarakat cenderung acuh dan berargumen "kan ada anak-anak muda yang mengurus".  Ketika ada jalan yang rusak, "kan ada pemerintah yang memperbaiki".

Disisi lain, para pemuda nampaknya sudah tidak mewarisi kebiasaan kerja bakti. Diakui atau tidak, pola kehidupan masyarakat desa saat ini mulai berubah kekota-kotaan. Masih teringat saat dulu kerja bakti dilaksanakan, masyarakat tumpah ruah untuk mengikutinya. Dengan membawa peralatan masing-masing mereka saling bekerja sama memperbaiki jalan, membersihkan lapangan, membersihkan parit, dan lain sebagainya. Bahkan, untuk konsumsi atau sekedar air minum mereka membawa sendiri dari rumah.

Akhir-akhir ini, ketika ada ajakan untuk membersihkan lapangan maka pesertanya sangat sedikit dan itu-itu saja. Kebanyakan dari masyarakat lebih memilih untuk bekerja yang mendapatkan bayaran atau pemasukan daripada bekerja yang hanya sebagai bakti. Mungkin benar bahwa generasi tua saat ini sudah tidak pada tempatnya untuk mengurus masalah kebersihan lapangan. 

Namun generasi pemuda saat ini justru cenderung tidak peduli, serta tidak ada rasa memiliki dalam diri mereka. Ini suatu masalah yang apabila dibiarkan begitu saja, maka 5 -- 10 tahun lagi mungkin tidak ada lagi lapangan untuk berolah raga karena sudah di kavling untuk dijual.

"Bayarannya berapa?" itu pertanyaan yang terlontar oleh beberapa anak muda yang diajak untuk membersihkan lapangan. Pola pikir yang biasa disebut matrealistis atau dalam bahasa lain "mata duitan" inilah yang menjadi persoalan saat ini. Sudah terlanjur terbentuk pola pikir semacam ini pada sebagian besar generasi muda yang tinggalnya hanya di desa. Bukankah ini seperti kekota-kotaan?. Apa-apa mesti bayar, apa-apa harus ada uangnya.

Pola pikir yang sudah terbentuk ini memang akan sulit untuk diubah. Kita tidak bisa menyalahkan kebutuhan orang lain, sedangkan kita pun juga memerlukan uang untuk biaya hidup. Namun setidaknya kita bisa menjadi pelopor sebagai contoh bahwa masih ada rasa gotong royong dalam diri masyarakat, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya.

Kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada pemudanya. Bagaimana tidak, pemuda adalah generasi yang akan menjadi pemimpin di masa mendatang. Kita persempit istilah bangsa dengan kata desa. Dalam skala yang lebih kecil, kemajuan suatu desa juga sangat bergantung pada pemudanya. Perlu diketahui bahwa sebagian besar wilayah negara Indonesia adalah pedesaan. Tentu saja kemajuan negara kita ini dipengaruhi oleh kemajuan desa, dan kemajuan desa bergantung pada pemudanya.

Pemuda saat ini bukan tidak mampu untuk membawa desa ke arah kemajuan. Meskipun yang terjadi saat ini, jangankan bekerja bakti membersihkan lapangan, untuk sekedar berolahraga saja mereka sudah tidak memiliki ketertarikan. Ponsel pintar sebagai teknologi saat ini digemari dan menjadi peralatan pokok yang digunakan sehari-hari.

 Bukan hanya untuk berkomunikasi, melainkan sebagai alat bermain. Tidak salah memang kalau generasi sekarang lebih menyukai permainan di ponsel pintar dibanding permainan di dunia nyata seperti olahraga. Namun harus ada kontrol dan perlu bimbingan agar mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk kepentingan yang lebih bermanfaat. Harus ada sisi lain yang disentuh sebagai langkah membentuk pola pikir mereka.

Selain pemanfaatan teknologi, anak-anak muda saat ini juga harus dibekali dengan kebiasaan gotong royong seperti kerja bakti. Ini sangat penting agar tidak terbentuk pola pikir matrealistis dalam diri mereka. Kerja bakti merupakan sebuah pengabdian seseorang terhadap desa atau wilayah tempat tinggal yang dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap bayaran. Dengan demikian, semoga bisa terwujud masyarakat yang kompak dan memiliki kebiasaan gotong royong seperti dulu lagi.

Kantan Muara, 22 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun