Dalam diskusi rutin bertajuk," Topic of The Week," yang digelar Seknas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, masalah perusahaan Prabowo punya lahan ratusan ribu hektar di Aceh dan Kalimantan, sempat disinggung salah satu pembicara.
Seperti diketahui, dalam debat calon presiden kemarin, calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo sempat mengungkit lahan ratusan ribu hektar di Aceh dan Kalimantan yang dikuasai perusahaan milik Prabowo Subianto.
Dalam debat, Prabowo mengakui itu. Tapi ia menegaskan, lahan itu bukan milik pribadi, tapi lahan Hak Guna Usaha yang izinnya didapat secara legal. Kata Prabowo, itu lahan negara. Dan, ia siap memberikan lagi ke negara, jika memang diminta.
Diskusi rutin di Seknas Prabowo, Selasa (19/2) itu sendiri mengambil tema, " Politik Agama Era Jokowi." Diskusi menghadirkan empat narasumber yaitu Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR, Hanafi Rais, Anggota DPR RI Fraksi PAN, Teuku Nasrullah, pengamat hukum, dan  Bernardus Abdul Jabbar, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212. Adalah pengamat hukum, Teuku Nasrullah pembicara yang sempat  menyinggung soal penguasaan lahan oleh perusahaan Prabowo.
Nasrullah menjelaskan, bahwa hak milik seseorang atas tanah dibolehkan. Tapi hak seseorang  memiliki lahan itu hanya  sampai 25 hektar. Tapi kalau berupa  Hak Guna Usaha, tidak bisa itu berdasarkan hak milik pribadi. Namun harus lewat perusahaan.
" HGU itu tidak boleh didaftarkan hak milik. Hanya  PT yang boleh HGB atau HGU. Kalau ada tanah yang dimiliki oleh orang per orangan lebih dari 25 hektar, itu sudah salah, melanggar hukum. Tapi kalau tanah itu (HGU) dikuasasi PT, enggak ada masalah," kata Nasrullah.
Jadi, kata Nasrullah, publik harus bisa membedakan tanah pribadi dengan tanah yang dikuasai PT atau perusahaan. Tanah yang dimiliki PT atau perusahaan tidak boleh disebut sebagai tanah pemilik pemegang saham dari perusahaan tersebut.
 " Salah itu. Misalnya Pak Hidayat Nur Wahid dan saya Nasrullah ada PT X, PT X ini punya tanah 10 ribu hektar, tidak boleh ada siapapun di Indonesia, tanah ini milik Pak Hidayat Nur Wahid. Itu pernyataan yang salah," kata Nasrullah.
Yang benar menurut Nasrullah, kalau memang mau diarahkan misalnya kepada Hidayat Nur Wahid, kalimatnya harus lain. " Misal Pak Hidayat, saya dengar PT X memiliki tanah 10 ribu hektar, anda salah satu pemegang saham, bisa bapak jelaskan? Tapi, tidak boleh gunakan kalimat Pak Hidayat kan punya tanah 10 ribu hektar, itu pernyataan yang salah. Keliru secara hukum," ujarnya.
Nasrullah juga menegaskan posisinya. Ia bukan anggota tim sukses capres baik dari kubu Jokowi, maupun Prabowo. Â Namun ia merasa lucu, sebab namanya ada di tim sukses Jokowi dan Prabowo. Sehingga banyak timbul pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Â " Saya sampaikan bukan dua-duanya. Nasrullah bukan satu-satunya saya, saya ada Teuku-nya," katanya.
Nasrullah juga menegaskan, dirinya  bukan anggota partai tertentu. Bukan pula pengurus partai tertentu. Atau simpatisan partai.  Ia mengaku orang  independen, walau dirinya sudah punya pilihan.
" Saya lebih utamakan kepentingan bangsa dan negara. Ini sekadar masukan kepada teman-teman Badan Pemenangan Nasional Prabowo. Kalau ada kampanye ke sini enggak ada artinya. Sudah 99 persen. Tapi yang harus dibangun sekarang, sebuah sistem bagaimana mereka yang hadir mendapat arahan untuk kerja setelah pulang," tuturnya.
Dirinya selalu melihat sesuatu itu agar  jangan banyak tapi ibarat buih di lautan. Mending hanya sebagian saja atau  sedikit tapi kerja cerdas dan efektif. Pasti luar biasa dampaknya.
" Saya enggak tahu siapa yang akan jadi presiden. Siapapun kita doakan, yang terpilih nanti akan membawa dampak positif kepada bangsa dan negara, kepada seluruh umat manusia di Indonesia. Kita doakan mereka bisa membawa Indonesia lebih baik," katanya.
Ia menambahkan, setiap orang pasti  punya keyakinan masing-masing tentang siapa  yang lebih baik dalam Pilpres. Oleh karena itu, ia  ingin memberikan masukan-masukan saja kepada presiden yang akan terpilih nanti.
" Â Kepada pemerintah yang akan datang, seluruh warga negara, wajib mengetahui sebuah hukum atau peraturan bila sudah disahkan apalagi diumumkan," ujarnya.
Tidak boleh, kata dia, Â ada warga negara mengatakan, tidak tahu isi peraturan. Atau mengatakan belum pernah baca. Seorang kepala negara dalam rezim pemerintah manapun, tidak boleh mengatakan tidak tahu isi peraturan tersebut. Padahal dia yang tanda tangan. " Ini tidak boleh terjadi," kata Nasrullah.
Apalagi kalau presiden, lanjut Nasrullah. Presiden adalah orang yang menandatangani produk hukum. Karena itu tak boleh ia mengatakan  saya tidak baca lagi. Pemimpin itu harus tanggung jawab. Karena kalau ada pemimpin yang mengatakan tidak baca lagi terhadap aturan yang ditekennya, dia  tidak menunjukkan sikap kenegarawanan. Tidak menunjukkan sikap seorang pemimpin.
" Kemudian, hukum atau produk hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan, tidak mengikuti perkembangan zaman, waktu dan tempat, jangan terlalu sering digunakan. Karena nanti masyarakat akan menuding bahwa hukum tersebut sudah ketinggalan zaman," katanya.
Apalagi,  kata dia, kalau hukum digunakan sebagai alat pemukul yang mengkritisi pemerintah. Bahkan kalau sekadar dipakai untuk pemukul lawan politik. Itu  tidak boleh dilakukan. Terlebih kepada yang mengkritisi sebuah penegakan hukum. Karena mengkritisi hukum adalah kewajiban seluruh kalangan intelektual. Yang namanya oposisi di negara manapun, kerjanya pasti mengkritisi. Bukan hanya menjadi pengamat.  Intinya di sini, hukum yang digunakan adalah hukum yang baik.
"Penerapan dan penegakan hukum harus adil, berimbang, tidak boleh pandang bulu, dan jangan ada disparitas rasa keadilan bagi masyarakat. Jangan sampai kepada si A ditegakkan hukum, kepada si B tidak. Nanti kalau itu terjadi, masyarakat tidak percaya lagi pada penegakan hukum. 'Ah penegakan hukum itu basa-basi'. Saya tidak katakan tumpul ke atas, tajam ke bawah," urainya.
Kata Nasrullah,  membangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum butuh waktu yang lama sekali. Jangan hanya kepentingan sempit dan sesaat, lantas  kepentingan rakyat yang dikorbankan. Aparat penegak hukum  pun harus melepaskan diri dari keberpihakan suatu rezim pemerintahan manapun. Tidak terjebak, apalagi terlibat, baik sadar atau tidak sadar. Sengaja atau tidak sengaja. Diam-diam atau terang-terangan dalam penegakan hukum kepada kepentingan politik dan sesaat.
"Aparat penegak hukum harus pegang teguh prinsip imparsial, independen, serta tidak diperalat oleh siapapun," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H