Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kata Kubu Prabowo, Penegakan Hukum Saat Ini Berat Sebelah

6 Februari 2019   17:46 Diperbarui: 6 Februari 2019   17:51 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekretaris Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kembali menggelar diskusi rutinnya yang diberi tajuk, "Diskusi publik Topic of the Week". Kali ini tema yang diangkat "Hukum Era Jokowi, Mundur dan Zalim?"Diskusi publik Topic of the Week sendiri seperti biasa digelar di di Kantor Sekretariat Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Jakarta.

Menjelang siang diskusi dimulai. Diskusi menghadirkan sederet narasumber yakni mantan Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, pengacara Guru Honorer, Andi M Asrun, Pendiri dan Ketua Umum HRS Center, Abdul Chair Ramadhan, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzzamil Yusuf, politisi Partai Gerakan Indonesia Raya, R Muhammad Syafii dan  Ketua Sekretariat Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Muhammad Taufik.

Ketua Sekretariat Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Muhammad Taufik tampil membuka diskusi. Dalam kata sambutannya, Taufik sempat menyinggung soal survei yang katanya dilakukan oleh teman-temannya dari Universitas Indonesia. Survei yang disinggung Taufik, terkait elektabilitas Partai Gerindra dan juga calon presiden nomor urut 02 di DKI Jakarta. 

Kata Taufik, berdasarkan hasil survei, sinyal kemenangan Prabowo dan Gerindra mulai terlihat. Setidaknya di ibukota. Taufik pun merasa optimistis, dengan melihat hasil survei yang trend-nya positif, Prabowo akan menang.

"  Insya Allah akhir bulan seluruh Indonesia kita menang," katanya.

Terkait diskusi sendiri, kata dia, memang sengaja mengangkat isu hukum. Isu itu dipilih, karena memang sangat penting. Terlebih kemarin, ada salah satu dari anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, yakni Ahmad Dhani terjerat kasus hukum. Taufik sendiri beranggapan, banyak yang janggal dalam kasus Ahmad Dhani. Ia rasa, penerapan hukum di Tanah Air tengah bermasalah. Seperti sengaja menyasar kepada orang-orang yang selama ini kritis kepada pemerintah. Ada semacam ketidakadilan..

"  Buat kami adalah banyak kejanggalan penerapan hukum pada saat ini. Ketika dari kami melapor, sampai dengan hari ini tidak ada satupun yang diproses. Karena yang kami laporkan adalah kelompoknya sebelah," kata Taufik.

Dokpri
Dokpri
Tapi Taufik yakin, publik sudah cerdas. Masyarakat tak bisa lagi ditekan atau gampang ditakuti. Publik ingin perubahan. Dan, dirinya yakin, harapan perubahan ada dalam diri Prabowo dan Sandiaga.

" Kepada Pak Prabowo dan Pak Sandi. Saya melihat ada gerakan itu," katanya.

Ketidakadilan hukum ini, menurut Taufik harus diakhiri. Caranya, mengganti kepemimpinan nasional lewat cara konstitusional melalui pemilihan presiden nanti. Karenanya ia pun mengajak semua elemen mendorong perubahan dengan memenangkan Prabowo.

" Sayab mengajak kawan-kawan mari bergerak bersama agar tanggal 17 April 2019 yang akan datang Pak Prabowo dan Pak Sandi akan memenangkan Pilpres,"ujarnya.

Taufik juga mengungkapkan, bahwa nanti Prabowo akan menjenguk Ahmad Dhani. " Insya Allah Pak Prabowo akan menjenguk mas Dhani. Kemarin sempat ke rumah Dhani," katanya.

Mengenai sosok Dhani sendiri, dengan terus terang Taufik memuji pentolan Dewa tersebut. Di matanya, Dhani adalah sosok yang tegar. Seorang pejuang yang berani. Sosok yang kritis terhadap penguasa."  Suara langit kita akan minta berpihak pada kita," katanya.

Setelah Taufik memberi kata sambutan, diskusi pun dimulai.  Pengacara Guru Honorer, Andi M Asrun yang tampil sebagai narasumber pertama. Mengawali paparannya M Asrun sedikit mengungkit pengalamannya saat jadi wartawan. Katanya, ketika itu era Soeharto. Ia sempat mengalami permasalahan hukum. Dan memang tak mudah melawan penguasa. Butuh keberanian yang berlebih.

" Saya mengalami persoalan hukum sejak zaman Pak Harto. Ketika saya menjadi wartawan Jawa Pos bersama Benny K. Harman yang waktu itu bekerja di Media Indonesia. Kami menentang pembredelan Tempo. Kami lawan dengan gigih sampai ke PTUN dan menang. Tidak mudah ketika berhadapan dengan penguasa," katanya.

Setelah itu zaman berganti. Soeharto lengser. Rezim pun berganti. Lalu kata M Asrun, lahir UU Guru dan Dosen atau. UU Nomor 14 Tahun 2005. Lahirnya UU itu juga membutuhkan perjuangan. Karena selama itu pula hak-hak dari guru tidak pernah didapatkan secara mudah. Tapi lewat perjuangan yang menguras energi, lahirlah UU Guru dan Dosen. Regulasi tersebut  lahir dan disahkan setelah Jakarta dibanjiri jutaan guru dan PGRI. " PGRI melakukan advokasi luar biasa sekali. Akhirnya kita bisa meneguhkan anggaran 20 persen harus bisa dilaksanakan pemerintah pusat dan daerah. Tapi saya tidak mengalami represi. Tidak ada represi di zaman Pak SBY. Saya tidak diinteli kemana-mana," katanya.

Kata Asrun, soal guru honorer,  ia sengaja membandingkan dengan era SBY. Menurutnya,  di era SBY, hampir 2/3 guru honorer diangkat dengan seleksi administratif. Dan memang para guru ini harusnya sudah diangkat sebagai PNS.  Mereka sudah bekerja dan teruji kemampuannya. Sudah terlatih semua. " Guru itu mendekati angka 10 juta seluruh Indonesia. Dari mulai tingkat TK sampai SMA baik negeri atau swasta," ujarnya.

Persoalan guru honorer ini menurut Asrun, adalah problem besar. Sayang sepertinya masalah guru honorer seolah-olah dilupakan oleh rezim sekarang ini. Ia pun menyebut salah satu bukti yakni  aturan yang dibuat Menteri PAN dan RB yang membatasi honorr untuk ikut seleksi menjadi PNS.

" Tidak boleh untuk para guru dan tenaga pendidikan. Ini menurut saya sebuah kesalahan besar di rezim sekarang ini. Kami uji dan gugat ke Mahkamah Agung. Luar biasa sekali, perkara diajukan 14 November diputus tanggal 16 Desember," katanya.

Dokpri
Dokpri
Sedikit harapan muncul dari Mahkamah Agung. Mahkamah kata Asrun, menyatakan pembatasan itu bertentangan dengan peraturan di atasnya. Atau menciptakan norma baru yang sebenarnya tak benar. Jadi orang yang mau ikut seleksi sudah dibatasi.

"  Ini kesalahan besar dari Pak Jokowi kalau menurut saya. Masa presiden juga baru tahu bahwa gaji honorer ada yang 300 ribu, 150 ribu, 75 ribu. Saya punya buktinya. Bayangkan gaji guru 300 ribu dibagi 30 hari, maka 10 ribu sehari. Itu hanya bisa beli beras seliter. Jadi sangat tidak manusiawi. Ini menurut saya adalah pelanggaran konstitusi. Ini tidak main-main. Kita diamanatkan alinea 4 UUD 1945, guru turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini menurut saya persoalan besar di era Jokowi," tuturnya.

Asrun juga menyentil  organisasi profesi guru.  Ia melihat, organisasi profesi guru tidak lantang menyuarakan kepentingan guru kepada Presiden Jokowi. Tapi kemudian diterbitkan PP Nomor 49/2018 yang mengatur soal pegawai kontrak. Baginya ini mengherankan. "  Yang namanya kontrak di bawah UU Tenaker, kontrak hanya bisa berjalan dua kali setahun. Orang tidak bisa dikontrak seumur hidup. Itu menyalahi basic perjanjian kerja. Yang tidak bagus dari PP ini, PP ini diucapkan pada saat peringatan hari ulang tahun guru. Jadi ketika HUT guru, Bapak Presiden tidak memberikan apa-apa kepada guru, malah dibikin bingung dengan status kontrak ini. Jadi seolah-olah pekerjaan mulia sebagai guru, kasarnya sebagai kuli kontrak," urainya.

Asrun menegaskan, guru itu kerjanya tidak bisa hanya di sekolah. Tapi di rumah pun dia harus koreksi pekerjaan rumah dan segala macam. " Saya sebagai orang yang mengerti perundang-undangan, saya bedah PP ini. Banyak sekali cacatnya. Apa bisa pekerja kontrak ditempatkan di TNI atau Polri? Ini dicantumkan dalam PP. Bisa katanya direkrut, tapi pekerjaan apa? Tidak jelas. Serba tergesa-gesa," katanya.

Menurut Asrun, ini semua terjadi karena  tim hukum Presiden Jokowi  sangat lemah. Hukum di by pass, dibuat grasa grusu. Sekarang PP ini sedang digugat  ke MK. Pemerintah sendiri berdalih, pegawai kontrak ini akan disamakan dengan PNS. " Kalau disamakan ya harusnya diangkat saja jadi PNS. Mudah-mudahan PP ini dibatalkan MK," katanya.

Melihat kondisi yang ada, Asrun pun berharap capres dan cawapres nomor dua punya komitmen berbeda untuk menyelesaikan masalah ini. Karena berharap kepada pemerintah sekarang sepertinya sudah sulit.  " Saya perjuangkan guru honorer tidak dalam rangka dagang politik. Saya tidak pernah dorong untuk ke 02, saya serahkan ke hati masing-masing. Kalau ada 10 juta guru dan tenaga pendidikan, sudah berpaling dari rezim, kita akan lihat hasilnya seperti apa," kata Asrun.

Setelah Asrun, giliran  Amir Syamsuddin yang tampil. Kata Amir, kalau berbicara mengenai topik diskusi, ia melihat ada indikasi kemunduran hukum. Tentu, ada ukuran kenapa ia katakan ada kemunduran hukum.

"  Mari kita lihat daripada apakah pemerintahan Jokowi ini telah berhasil selama 4 tahun sekian bulan pemerintahannya, telah berhasil mempertautkan rasa keadilan dan keadilan yang diinginkan rakyat Indonesia?" kata Amir

Peserta diskusi yang hadir serempak menjawab, " Tidak".

Menurut Amir, ada persoalan penegakan hukum saat ini. Fakta sudah mencatat, mulai dari kasus Ahmad Dhani, Buni Yani, dan lainnya. "  Ini saya kira tidak bisa kita biarkan," katanya.

Amir menambahkan, walau usia pemerintahan tinggal beberapa bulan lagi, tidak boleh hal-hal seperti ini di diamkan. Karena apa yang disaksikan sekarang, terdapat problem besar dalam penegakan hukum. Dan itu terkait dengan sosok dari  pimpinan tertinggi negara yakni Presiden.

" Presiden  tidak boleh sedikit-sedikit saya tidak mau diintervensi, saya tidak mau dicampuri. Menegakkan hukum itu bukan mencampuri. Otoritas sebagai presiden bisa melakukan langkah-langkah sebagai presiden tanpa dinilai sebagai mencampuri," ujarnya.

Amir pun mencontohkan kasus Novel Baswedan yang  sudah memasuki tahun ketiga. Berlarut-larutnya penuntasan kasus Novel Baswedan menjadi pertanyaan. Padahal prestasi penegak hukum indonesia dalam memberantas itu adalah yang terbaik di dunia.

" Kenapa kasus Novel saja, kok bisa mangkrak seperti itu? Kemudian presidennya mengatakan, 'biar saja itu proses berjalan. Saya tidak akan mencampuri. Saya tidak biasa mengintervensi'. Ini bukan cara yang patut dilakukan seorang pemimpin tertinggi di negara kita. Ada problematik besar di dalam diri presiden kita," kata Amir.

Berbeda dengan era SBY, kata dia. Do era SBY, ketika muncul  problem besar yang menyeret polisi dan KPK, dimana dua institusi itu saling berhadapan, SBY sebagai Presiden segera membentuk tim pencari fakta atau tim 8. Kedua kalinya juga SBY segera membentuk tim dan meredakan situasi. Beda dengan sekarang, seperti membiarkan itu.

"Novel Baswedan ini adalah faktor yang akan menurunkan elektabilitas Jokowi. Sebagai seorang capres yang populisme,  harus punya political will yang tepat, punya kemampuan yang memadai, punya keberanian yang wajar. Bukan keberanian asal-asalan," katanya.

Narasumber lainnya,  politisi Partai Gerakan Indonesia Raya, Raden Muhammad Syafii juga satu suara. Kata dia, sebaik apapun hukum kalau berada di tangah orang tidak baik, hasilnya buruk. Tapi kurang baik hukum, jika berada di tangah orang yang baik,  hasilnya baik. Itu berarti dalam penegakan hukum paling tidak ada dua komponen yang sangat penting. Pertama, hukum itu sendiri. Dan kedua, implementasinya.

" Kita bisa ambil contoh. Kemarin kami rapat kerja dengan KPK. KPK dengan bangga memaparkan hasil kerjanya nangkapin orang. Kemudian dengan bangga juga, target akan nangkapin orang lagi. Jadi di 2019 minimal bisa tangkap 200 orang. Saya kan terkejut.
Kenapa terkejut? Karena kalau kita baca, untuk apa KPK didirikan, mengacu pada bagaimana kehadiran KPK bisa membuat lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia bekerja maksimal sesuai peraturan perundang-undangan," urainya.

Menurut Syafii, standar ukuran keberhasilan KPK, adalah ketika kebocoran uang negara bisa diselamatkan. Dan kian rendahnya keinginan orang untuk melakukan korupsi. Baginya, itu standar keberhasilan KPK. Ia tak melihat itu pada KPK sekarang ini.

"  Setelah KPK berdiri untuk menjadi trigger mecanism terhadap penegak hukum. Tapi supervisi dan monitoring terhadap penegak hukum justru sangat minim. Yang paling banyak justru OTT-OTT. Ini justru prestasi yang dibanggkan," katanya.

Banyaknya OTT, lanjut Syafii, ternyata tak menimbulkan efek jera. Sebab faktanya tetap saja banyak yang melakukan korupsi. Artinya, KPK tak berhasil menurunkan keinginan orang untuk  korupsi. Meski begitu, ia tetap sepakat, KPK masih harus ada. Syafii juga menyentil institusi kepolisian. Kata dia, polisi dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, khusus Pasal 13 disebutkan,  polisi itu tugasnya adalah melayani, melindungi, mengayomi masyarkaat, menegakan ketertiban dan memastikan tegaknya hukum. Tapi yang terjadi hari ini adalah polisi tidak lagi menampakkan dirinya sebagai penegak hukum. Namun polisi seperti jadi salat politik rezim yang berkuasa.

" Mereka bukan orientasi pada kepentingan negara, tapi rezim," katanya.

Ia pun mencontohkan kasus seorang Bupati yang memaki Prabowo dengan kata kasar. Kasus itu sudah diadukan ke polisi. Sampai hari ini tak jelas kelanjutannya. Serta masih banyak lagi kasus serupa. Berbeda, kalau yang mengadukan adalah pendukung rezim. Prosesnya cepat sekali.

" Ini prosesnya sangat cepat sekali. Contoh terakhir adalah tentang Ahmad Dhani yang dalam cuitannya diproses begitu  cepat, P21 sampai kejaksaan dan langsung dilimpahkan ke pengadilan," kata Syafii.

Setelah politikus Gerindra memberi paparan, diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari pendiri dan Ketua Umum HRS Center, Abdul Chair Ramadhan. Sama seperti narasumber lainnya, Abdul Chair Ramadhan juga mengingatkan amanat konstitusi terkait penegakan hukum. Dalam konstitusi disebutkan, Indonesia adalah negara hukum. Tapi dalam tataran implementasinya, ia justru mempertanyakan itu. Ia merasa, hukum tak ditetapkan seadil-adilnya. Hanya tegak,  kalau terkait dengan  kepentingan penguasa. Ini membuktikan bahwa kepentingan non hukum mempengaruhi tata cara bernegara dan penegakan hukum itu sendiri. Banyak kasus norma hukum tidak dilaksanakan sesuai asas, fungsi penegakan hukum.

" Kasus Ahmad Dhani contohnya, dia dituntut dengan pernyertaan Pasal 55. Lebih dari 1, minimal 5. Lho kok Ahmad Dhani dituntut sendiri. Buni Yani, kalau Ahok diputus bebas, Buni Yani diputus bersalah. Nyatanya Ahok divonis bersalah. Kalau Ahmad Dhani dituduhkan timbulkan kebencian, suku, agama, ras, golongan yang mana?Apakah dapat dipastikan pendukung Ahok, termasuk semua ras, agama di Indonesia? Tidak ada tidak mungkin. Belum lagi Jonru, Alfian Tanjung," urai Abdul Chair.

Kemudian Abdul Chair menyinggung soal 31 juta pemilih, dimana didalamnya  ada orang gila. Kata dia,  sebenarnya bukan orang gila yang  dipermasalahkan. Tapi penyandang disabilitas. Dalam UU pemilu itu tidak ada norma yang mengatur disabilitas mental menjadi pemilih. Yang ada tuna netra, tuna rungu. Penyandang disabilitas mental hanya ad dalam UU Penyandang Disabilitas.

" Kemudian dalam peraturan KPU itu dimasukkan. Yang sejatinya tidak ada rujukannya dalam UU Pemilu. Apakah peraturan KPU ini sah? 15 juta Pak. Kalau ada siapa yang jamin mereka pasti memilih. Jadi yang kita lawan adalah kecurangan sistematik yang berdampak sistemik," ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun