Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Ramai-ramai Menguliti Jejak Janji Jokowi

22 Januari 2019   19:55 Diperbarui: 22 Januari 2019   21:34 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kubu Prabowo Subianto lewat Seknas Prabowo-Sandiaga kembali menggelar diskusi rutinnya yang diberi tajuk diskusi publik Topic of the Week. Kali ini tema yang diangkat diskusi publik bertajuk Topic of the Week adalah, " Jejak-jejak Kebohongan Jokowi?". 

Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber yakni M Said Didu, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN, Nicholay Aprilindo, pemerhati politik dari Lembaga Pengkajian Strategis Politik, Hukum, HAM dan Keamanan (LPSPH2K), Djoko Eddhie Abdulrahman, mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Indra, mantan anggota DPR dari Fraksi PKS, dan Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

Said Didu, jadi pembicara pertama yang unjuk bicara. Menurut mantan petinggi di Kementerian BUMN ini, bicara soal jejak kebohongan Jokowi, dia teringat soal mobil Esemka. Baginya, mobil Esemka ini menarik, karena dulu bisa dikatakan jadi starting poin bagi Jokowi melambungkan namanya ke pentas nasional.

Tak lupa Said Didu mengingatkan tentang bahaya kebohongan. Kata dia, kebohongan adalah induk kejahatan.  Politisi boleh berdebat dengan kiasan, tapi  bukan berbohong. Sebab ketika seorang politikus sudah bohong pasti hancur.  Ia pun lantas menyentil soal mobil Esemka.

"Saat saya melawan kebohongan pada  saat itu mobil Esemka saya ketua persatuan insinyur Indonesia," katanya, di kantor Seknas Prabowo-Sandiaga di Jakarta.

Bagi Said Didu,  Esemka itu adalah kebohongan. Namun ia merasa bersyukur,  waktu itu ikut mengkritisi  mobil Esemka, sehingga  tidak jadi bagian dari  kebohongan Esemka. Janji Jokowi tentang mobil Esemka, jelas tak terwujud. Tentu, ketika sebuah janji diucapkan dan tak ditunaikan, ada yang jadi korban.

"Sebaiknya kita list siapa saja korban kebohongan Esemka dan bagaimana menjadi korbannya. Nah, yag sering di gunakan orang janji kampanye bukan kebohongan. Janji kampanye kalau dilaksanakan dan tercapai tapi kalai janji kampanye tidak di lakukan maka itu kebohongan," kata Said Didu.

Contoh lainnya adalah kata dia, janji Jokowi soal tidak akan melakukan impor. Kemudian,janji tak akan hutang. Ternyata sekarang, impor dilakukan. Hutang juga bertambah.

"Orang yang berbohong itu kelihatan seperti orang jujur. Saatnya negara ini dihentikan dari kebohongan. Saya ingin membasmi pencitraan berbasis kebohongan. Pencitraan berbasis kebohongan harus ditutup. Pencitraan yang berbohong saya lawan. Kalau Prabowo dan Sandiaga  bohong pun aku lawan," katanya.

Kebohongan itu lanjut Said Didu, sangat merusak. Negara bisa rusak.  Sebab yang dilaksanakan adalah hal yang sebaliknya.  Dan yang paling berbahaya adalah menutup kebohongan dengan kebijakan. Contoh, BBM satu harga. Dari dulu dulu harga BBM satu harga.

"Lalu ada perluasan SPBU  tapi di bungkus dengan nama dan citra BBM satu harga. Berapa kerugian Pertamina oleh bungkus pemerintah ini. Sekarang hutang BUMN selama ini naik 2200. Kalau ada pergantian pemerintahan tolong audit semua itu. Janji politik bisa bohong bisa tidak, janji tidak sampai target bukan disebut bohong. Janji politik yang tidak dilakukan sebuah kebohongan besar," katanya.

Sementara itu, Nicholay Aprilindo memulai paparannya dengan menyoroti debat capres kemarin. Di debat capres kemarin, ada beberapa hal yang mengganjal dalam benaknya  tentang kebohongan. " Yang mengganjal bagi saya adalah ketika beberapa kali capres 01 itu menyerang pribadi capres 02," kata Nicholay.

Pertama saat capres nomor urut 01, kata dia, menyerang capres nomor urut 02, dengan isu caleg koruptor.  Lewat serangannya capres nomor urut 01 memposisikan seakan-akan Partai Gerindra adalah lubang korupsi.  Padahal dalam UU Pemilu pun tidak dicantumkan adanya larangan bagi napi koruptor nyaleg.  

"Memang kita semua mengetahui korupsi adalah extraordinary crime tetapi selama sidang tidak ada pencabutan hak politik tak masalah. Kalau kita lihat di parpol pendukung Jokowi justru banyak koruptor," katanya.

Hal lain kata Nicholay adalah masalah pelanggaran HAM. Dalam debat kemarin,  Prabowo distigmatisasi oleh Jokowi sebagai pelanggar HAM dalam closing statementnya. Jokowi  lupa dalam kabinetnya saat ini itu banyak bercokol pelanggar HAM.

"Pengadilan tinggi PBB menyatakan Wiranto bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM Timor -Timur," katanya.

Ketiga lanjut Nicholay, terkait pengakuan Jokowi bahwa dalam pemilihan DKI Jakarta, dia tak menggunakan dana apapun. Kata Nicholay,  Jokowi dan Ahok, memang tak keluar dana. Tapi  yang menjadi permasalahan adalah Jokowi datang berkali-kali ke Hasyim Djojohadikusumo meminta uang.

"Saya adalah saksi hidup. Saya berani mempertanggungjawbkan dunia akhirat karena 2008 saya yang memperkenalkan Jokowi ke Hasyim di Solo. Dia berani berbohong sama orang yang memberi uang kepadanya, ini kan namanya kebohongan," katanya.

Pembicara lainnya, Djoko Eddhie Abdulrahman mengatakan bicara soal kebohongan tak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara besar pun terjadi. Di Amerika Serikat misalnya, Bill Clinton saat jadi Presiden sempat tersangkut pengakuan bohong soal skandalnya dengan Monica Lewinsky. Clinton, ketika itu terancam diimpeachment.

"Sejak itu saat itu saya mulai paham berbohong itu dalam negara berbahaya, bisa dimakzulkan," katanya.

Dalam konteks Indonesia sekarang, di mata Eddhie, Presiden Jokowi banyak bohongnya. Bahkan Eddhie menuding, Jokowi menggunakan media mainstream untuk menutupi kebohongannya.

"Dia  memanfaatkan semua media mainstream yang mengolahnya menjadi smoke and mirror seolah-olah itu benar, padahal bohong. Yang diomongin dan dijanjikan saat kampanye itu mengikat karena itu kontrak sosial," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun