Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mewujudkan Otonomi Daerah untuk Rakyat

20 November 2017   10:35 Diperbarui: 20 November 2017   10:54 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendagri saat pengesahan Perppu Ormas | dok.pribadi

 Sejak awal mulai menjalankan roda pemerintahan, Presiden Joko Widodo sudah mencanangkan tekad menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kompetitif. Terlebih, Indonesia sudah masuk dalam komunitas Masyarakat Ekonomi Asean, yang menuntut daya saing dengan negara tetangga lainnya.  

Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam pidatonya bertajuk, " Capaian Tahun 2016 dan Program Kegiatan Tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri dan Badan Nasional Pengelola (BNPP)," kemudahan berusaha dan berinvestasi jadi salah satu yang diprioritaskan di era pemerintahan sekarang ini. Program deregulasi pun digulirkan. Karena faktanya, terdapat puluhan ribu aturan baik yang dibuat pemerintah pusat dan daerah yang tumpang tindih. Bahkan saling bertentangan satu sama lain.

" Di samping, banyak aturan yang terlalu birokratis, hingga membebani pelaku usaha," ujarnya.

Iklim usaha dan investasi pun, kata dia,  tak sehat, dengan banyaknya pungutan yang membuat ekonomi berbiaya tinggi. Urusan juga berbelit-belit. Pada akhirnya daya saing Indonesia melemah. Wajah Indonesia pun dipandang buruk para investor. Deregulasi pun digenjot.

Seperti diketahui, Senin sore, 13 Juni 2016, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pembatalan sebanyak 3143 peraturan  yang dianggap bermasalah. Rinciannya sebagai berikut :  1.765 Perda/Perkada dibatalkan oleh Mendagri dan 1.267 Perda/Perkada dibatalkan oleh Gubernur. Selain itu, terdapat 111 Permendagri yang dibatalkan, sehingga jumlah totalnya 3.143 peraturan telah dibatalkan.

Ribuan aturan yang dibatalkan itu, kata Tjahjo, karena banyak menghambat dan memperburuk iklim investasi. Izin usaha bertele-tele. Pungutan marak dan lain-lain.  Menurut Tjahjo, Presiden Joko Widodo sendiri, sejak awal memimpin,  memang langsung mengintruksikan dirinya sebagai Mendagri,  untuk memangkas peraturan-peraturan yang nyata-nyata membuat ekonomi berbiaya tinggi. Setidaknya ada 42.633 peraturan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Ada 3000 lebih peraturan daerah yang bermasalah. Dan, itu harus dibatalkan. Perda yang bermasalah itu yang bertentangan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Bertentangan dengan kepentingan umum. Subtansinya tumpang tindih. Menghambat investasi dan birokrasi. Serta diskriminatif.

Perlu ditegaskan pula, kata dia,  pembatalan ribuan perda, semata-mata demi untuk membuat wajah ekonomi Indonesia tak lagi bopeng di mata investor. Dan, lebih jauh dari itu, agar bangsa Indonesia jadi bangsa yang kompetitif. Secara riil, perda yang dibatalkan, atau dipangkas sebagian pasalnya, adalah aturan-aturan yang terkait dengan perijinan dan retribusi. Lebih khususnya aturan yang menghambat dunia usaha atau investasi, baik itu PMA dan PMDN. Landasan hukumnya, adalah UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 

Dimana dalam beleid tersebut  terdapat kewenangan Mendagri untuk menghapus perda-perda bermasalah di tingkat provinsi. Di UU Pemda juga terdapat kewenangan bagi gubernur untuk membatalkan peraturan yang dibuat kabupaten atau kota. Tentunya yang dibatalkan adalah aturan yang menghambat investasi serta yang punya dampak terhadap berkurangnya daya saing. 

Misalnya aturan yang membuat ekonomi berbiaya tinggi. Intinya yang membebani  dunia usaha atau investasi terutama di sektor primer seperti pertanian, perikanan, perkebunan, pertambangan. Atau sektor sekunder seperti industri manufaktur, listrik, bangunan, konstruksi, infrastruktur dan  sektor tersier seperti perdagangan, transportasi, telekomunikasi, bank atau keuangan  dan jasa.  Sayang menurut Tjahjo, kewenangan itu kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), setelah digugat oleh beberapa kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi).

Padahal katanya, dengan berkurangnya ekonomi biaya tinggi, dunia usaha atau baik itu di sektor primer, sekunder dan tersier, diharapkan meningkat tajam pertumbuhannya. Maka dengan menggeliatnya pertumbuhan di semua sektor, lapangan pekerjaan pun otomatis bakal tercipta. Pada akhirnya, hal itu bakal berdampak pada meningkatkan penghasilan masyarakat. Ujungnya, kesejahteraan pun akan meningkat pula. Dengan meningkatnya penghasilan masyarakat, daya beli masyarakat pun tak lagi lemah. Ujungnya itu bakal mengurangi tingkat kemiskinan.

Otomatis, kata dia, ketika kehidupan rakyat membaik, mereka pun akan mampu membayar segala kewajiban pada negara. Misalnya membayar PBB, PKB dan BBN-KB. Dan, semua itu akan kembali pada rakyat, lewat anggaran negara untuk pembangunan. Tidak hanya itu, ketika iklim investasi dan wajah ekonomi membaik, penerimaan pajak daerah akan kena dampak positifnya. 

Pendapatan daerah bisa meningkat tajam.  Itu akan terjadi, seiring  melonjaknya  pertumbuhan  investasi di sektor primer, sekunder dan tersier. Dan dengan meningkatnya sektor perpajakan yang tak membebani dunia usaha dan masyarakat, otomatis fiskal daerah kuat atau APBD mampu mendukung secara signifikan program prioritas pemerintah seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun