Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggu Para 'Dewa Partai' Bertemu

6 Juli 2017   01:37 Diperbarui: 6 Juli 2017   01:58 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore menggantung menjelang senja. Hotel Red Top, sebuah hotel yang ada di daerah Pacenongan, Jakarta Pusat, tampak lebih ramai, lain dari hari biasanya. Beberapa orang berpakaian dinas dan safari hilir mudik. Ternyata, hari itu, Kamis, 15 Juni 2017,  ada hajatan acara diskusi panel dan penyerahan penghargaan 21 inspirator pembangunan daerah kepada kepala daerah.  Acara itu digelar  Pusat Kajian Keuangan Negara.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dijadwalkan hadir di acara tersebut. Para wartawan baik dari media cetak dan elektronik, sudah ramai menunggu kedatangan Mendagri. Bada Ashar, Mendgari datang, lalu masuk ke ruangan tempat di gelarnya acara.

Usai menghadiri acara, puluhan wartawan langsung ' menyergap' orang nomor satu di Kementrian Dalam Negeri tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan para pencari berita tersebut. Pertanyaan yang dominan di tanyakan masih seputar soal RUU Penyelenggara Pemilu yang tak kunjung disahkan.

" Pembahasan RUU Pemilu kemarin deadlock Pak?" Tanya seorang wartawan.

Tjahjo pun langsung menjawab. "Oh enggak (deadlock)."

Menurut Tjahjo, pembahasan RUU Pemilu tak buntu. Bahkan kata dia, pembahasan RUU kali ini justru lebih maju dari pembahasan RUU Pemilu sebelumnya. Dalam bahasanya, pembahasan kali ini punya prestasi tersendiri. Sebab dalam pembahasan UU Pemilu sebelumnya, yakni UU Pemilu yang dipakai sebagai payung hukum Pemilu 2014, pembahasan memakan waktu hingga 2 tahun untuk bisa disahkan. Sekarang baru enam bulan. Tapi, orang ramai menilai lelet dan lambat. Bahkan ada yang menyebut terus  'molor'.

" Ini belum enam bulan sudah selesaikan 562 pasal. Tersisa 5 maka saya kira kita harus hati-hati," katanya.

Tjahjo juga mengungkapkan komitmen dia sebagai wakil pemerintah dengan Pansus DPR. Kata dia, ia dan Pansus sudah berkomitmen agar jangan ada voting dalam pembahasan RUU Pemilu. Terutama terkait dengan isu-isu krusial. Sebisa mungkin isu krusial yang belum disepakati, diselesaikan secara musyawarah. Diungkapkannya juga selama ini, pemerintah sudah banyak mengalah. Dalam beberapa  poin-poin, pemerintah tidak ngotot. Dan mengalah untuk kompromi. Karena itu, ia juga memohon, fraksi-fraksi di Pansus juga mengalah untuk poin tertentu.

" Maka saya juga mohon teman-teman fraksi di Pansus ya ngalah juga dong soal menemukan titik temu. Kalau bertahan kepada apa yamg jadi prinsipnya ya enggak akan jadi ketemu," ujarnya.

Diakui Tjahjo, belum adanya titik temu untuk lima isu krusial karena memang itu  menyangkut strategi partai politik. Itu juga terkait dengan AD/ART partai. Dan menyangkut kepentingan partai dalam menyorong calon presidennya. Namun ia berharap, jangan ada kecurigaan satu sama lain, terutama kepada sikap pemerintah. Musyawarah mufakat harus dikedepankan. Namun kalau tetap tak bisa musyawarah, apa boleh buat, jalan voting yang harus ditempuh.

" Kalau sampai tidak musyawarah maka mari kita cari waktu voting di paripurna. Voting tak boleh di Pansus ya, di paripurna. Waktunya kapan? Ya saya kira itu hak DPR.  Kalau voting kan kami tak ikut campur. Saya kira masih ada waktu. Kalau toh dijadwalkan paripurna setelah lebaran ya masih bisa. sebab tahapan sekarang ini KPU masih melaksanakan tahapan Pilkada serentak," urai Tjahjo dengan panjang lebar.

Tjahjo juga tak mempermasalahkan jika sekarang Perdebatannya itu keras dan alot. Bila itu ujungnya untuk bermusyawarah, ia tak mempersoalkan debat yang keras. Asal jalan musyawarah yang dikedepankan.

" Tapi kabarnya pemerintah mulai menarik diri bila Pansus tetap ngotot soal presidential treshold?" Tiba-tiba seorang wartawan menyela dengan pertanyaan.

" Ya boleh dong kalau pemerintah punya opsi. Tolong dong ini, kami kan sudah ngalah, maka satu opsi ini sampai ditolak kan ada opsi lain. Opsi lain kan ya sudah lebih baik kita kembali ke UU lama. Ada mekanismenya kok. Itu kan baru opsi nanti, tapi saya sampaikan kemarin ini lho opsi-opsi terburuk kalau enggak bisa musyawarah selama 4 hari sampai Senin," dengan cepat Tjahjo menjawab.

Tjahjo juga mengungkapkan, bahwa sudah pertemuan antara ketua umum partai. Tidak hanya itu, telah digelar pertemuan antar sekretaris jenderal partai. Antar ketua  fraksi juga telah bertemu. Jadi sekarang tinggal 'dewa-dewa' partai untuk bertemu. Tapi kalau memang setelah para 'dewa' partai bertemu dan tak juga ada kata sepakat, apa boleh buat, voting harus dilakukan di paripurna.

" Tinggal dewa-dewa partai. Kalau itu enggak bisa maka mari bawa ke paripurna. diambil keputusan dengan syarat harus fair. Pemerintah hanya ajukan dua-tiga opsi ada yang partai sama, ada yang tidak. Enggak masalah,  wong partai pemerintah juga beda dengan pemerintah kok ya enggak masalah asal itu fair. Kalau tidak ya sudah kita bisa kembali aturan lama," kata Tjahjo.

" Kembali ke UU lama tak bisa dong Pak, ini kan pemilunya serentak?" Kembali seorang wartawan melontarkan pertanyaan.

Mendengar itu Tjahjo langsung menjawab. Kata dia, Pilpres kemarin  juga, menggunakan syarat  20-25 persen. Dan itu tidak ada masalah. Tidaknya itu, aturan  di Pilkada sekarang juga menggunakan syarat 20-25 persen. Itu pun tak ada gejolak. Tjahjo sendiri heran, apa yang ditakutkan dari penetapan syarat 20-25 persen dukungan itu.

" Perlu Perppu dong kalau terus deadlock?" Terdengar seorang wartawan menyela.

" Mungkin perlu Perppu saja.  Saya cukup optimis semua fraksi sudah cooling down mari kembali ke dapurnya masing-masinh apa yang bisa mengalah apa yang bisa dikurangi," jawab Tjahjo sembari hendak beranjak.

Tiba-tiba kembali seorang wartawan bertanya. "Pemerintah hanya ngotot  disatu poin, presidential treshold?"

Tjahjo menghentikan langkahnya. Lalu ia menjawab. "Ada 3 poin."

" Apa yang membuat pemerintah tetap mau 20-25 persen?" Seperti tak mau kehilangan momen, kembali terdengar seorang wartawan memotong dengan pertanyaan.

Tjahjo langsung menjawab. kata  dia, argumentasi sudah disampaikan pemerintah, bahwa dua kali Pilpres, aturan 20-25 persen diterapkan. Dan itu tak ada masalah. Semua baik-baik saja.

" Pemerintah ngotot untuk memudahkan Jokowi maju lagi?" Seorang wartawan kembali bertanya.

Mendengar pertanyaan itu Tjahjo langsung menjawab. Suaranya terdengar lebih keras.

" Enggak. Semua bisa maju, Prabowo bisa maju. Siapapun bisa maju kok. Jujur 20-25 tuh bisa 4-5 pasang loh kemarin, 5 pasang yang Pak Jk maju, Pak SBY maju,  Bu Mega maju, Pak Agum Gumelar maju. Kemarin hanya dua,  padahal bisa 4 karena Golkar dan Demokrat tidak mengajukan calon. Aturan UU-nya jelas capres  bisa diusung satu partai atau gabungan partai, itu aturan UUD,  secara konstitusional sah-sah ssaja," kata Tjahjo menjawab dengan agak panjang lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun