Kerap kali, saat mewawancarai narasumbernya, para wartawan akan mencari satu kutipan yang layak untuk dijadikan judul. Karena itu, acapkali wartawan akan memburu narasumbernya dengan pertanyaan dengan harapan kutipannya jawabannya bisa dipakai untuk judul berita.
Tentang ini saya punya satu kisah. Jumat sore, 9 Juni 2017, ada sebuah diskusi yang membedah soal Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang tak juga selesai disahkan. Diskusi digelar di lantai III Gedung A, kantor Kementerian Dalam Negeri. Di gedung A ini, Mendagri Tjahjo Kumolo berkantor. Diskusi itu sendiri digelar di sebuah ruang rapat yang cukup lapang dan dingin.
Diskusi digelar sejak bada ashar, menghadirkan dua pembicara  yakni Ketua Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu, Lukman Edy yang juga politisi PKB dan Yuswandi Arsyad Temenggung, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam. Sementara yang jadi moderator adalah Doddi Riatmadji.
Dalam diskusi itu, Lukman Edy banyak menjelaskan, kenapa RUU Penyelenggaraan Pemilu tak kunjung juga disahkan. Lukman mengakui, ada beberapa isu krusial yang tak juga disepakati semua fraksi di Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu isu krusial yang masih jadi perdebatan adalah soal presidential treshold. Kata Lukman, untuk isu ini, perdebatan seputar klausul presidential treshold itu konstitusional atau tidak. Lukman juga mengungkap, khusus untuk isu presidential treshold, sikap pemerintah sangat jelas, ingin ambang batas itu dipertahankan, dengan merujuk pada ketentuan lama persyaratan pencapresan yakni 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara partai atau gabungan partai.
Yuswandi sendiri mengakui, khusus untuk isu presidential treshold, positioning pemerintah sangat jelas, tetap ingin ambang batas pencapresan diberlakukan. Alasannya, Indonesia sudah punya pengalaman menerapkan itu dalam beberapa Pilpres yang telah digelar. Dan, tak ada masalah atau gejolak.
Terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang itu, menurut Yuswandi, dalam amar putusannya, mahkamah tak secara eksplisit menyebutkan presidential treshold itu dibatalkan atau dihapus. Atau dalam bahasa dia, itu adalah open legacy. Jadi, masih konstitusional.
Menjelang diskusi berakhir dibuka sesi tanya jawab. Saat dapat giliran menjawab, khusus untuk pertanyaan presidential treshold, Yuswandi tetap dengan jawaban yang sama. Pemerintah ingin itu diberlakukan. Begitu juga saat ditanya, apakah pemerintah akan melakukan kompromi misalnya menurunkan ambang batas pencapresan, Yuswandi menjawab," Itu yang terbaik untuk bangsa."
Karena sudah tiba waktu berbuka puasa, diskusi diakhiri. Setelah membatalkan buka puasa, Lukman Edy dan Yuswandi beranjak dari tempat duduknya. Keduanya hendak menuju ke ruangan lain, tempat hidangan buka puasa menanti.
Saya pun ikut bangkit dari tempat duduk. Tapi karena penasaran soal presidential treshold dan dibenak sudah ada rancangan untuk judul berita, saya pun mengajukan pertanyaan yang ditujukan ke Yuswandi yang nampak sudah melangkahkan kaki. Harapan saya, Sekjen Kemendagri itu 'kejebak' oleh pertanyaan saya, dan menjawab sesuai rancangan judul berita yang telah saya siapkan dibenak. "Jadi bagi pemerintah presidential treshold harga mati pak?"
Yuswandi tampak menghentikan langkahnya dan langsung menengok ke arah saya, sebelum akhirnya menjawab. " Pokoknya itu yang terbaik bagi bangsa dan rakyat."
Di ruangan sebelah, saat Yuswandi dan Lukman Edy sedang menyantap soto, hidangan yang disediakan untuk santap buka puasa, saya kembali bertanya. " Jadi harga mati ya pak presidential treshold?"
" Yang terbaik itu saja. Saya tak bilang harga mati. Itu kamu yang bilang harga mati yah. Bagi pemerintah itulah yang terbaik, bukan harga mati, tapi yang terbaik," jawab Yuswandi coba berkelit dari pertanyaan 'jebakan' saya. Ah, gagal sudah dapat judul presidential treshold harga mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H