Saya hentikan dulu mengutip tikpetnya. Saya coba bandingkan dengan bunyi kutipan langsung yang dimuat media online tadi.
" Pemda Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim. Termasuk mengingatkan putusan Wali Kota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, sifatnya sementara sampai daerahnya aman," begitu kutipan langsung Menteri Tjahjo yang dimuat di media online.
Saya coba berpikir. Nuwun sewu dengan sangat. Saya pikir, antara yang termuat di 'tikpet' dan kutipan langsung di berita sebuah media online, ada yang berbeda. Atau ada 'mis'. Ada perubahan kalimat, yang kemudian membuat pernyataan sangat mungkin ditafsirkan lain.
Dalam 'tikpet' pernyataan Menteri Tjahjo berbunyi :
" Kalau Perda yang baru April tahun kemarin saya sudah mengembalikan 139 Perda, termasuk mengingatkan putusan Walikota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, dia mengatakan sifatnya sementara sampai daerahnya aman. Termasuk Perda wanita wajib memakai jilbab, padahal di daerah itu tidak seluruhnya Muslim. Khususnya yang menghambat investasi, mempercepat perizinan, retribusi yang tidak perlu."
Tidak ada pernyataan langsung dari Menteri Tjahjo tentang "Pemda Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim. Termasuk mengingatkan putusan Wali Kota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, sifatnya sementara sampai daerahnya aman," seperti yang ditulis media online tersebut sebagai kutipan langsung dalam beritanya.
Setelah baca dua informasi itu, saya pun maklum, kenapa sampai kemudian pernyataan Menteri Tjahjo disalahpahami. Dalam kutipan langsung seperti yang dimuat media online tersebut, Menteri Tjahjo secara eksplisit menyebut Pemda Aceh dan perda 'jibab'. Sementara dalam 'tikpet', tak ada tertulis, Menteri Tjahjo menyebut langsung Pemda Aceh. Dalam 'tikpet' Menteri Tjahjo hanya mengatakan, " Termasuk Perda wanita wajib memakai jilbab, padahal di daerah itu tidak seluruhnya Muslim."
Dalam klarifikasinya pun, Menteri Tjahjo membantah, bahwa pernyataan dia tentang perda 'jilbab' itu merujuk pada Pemda Aceh. Tapi, pernyataannya itu, merujuk pada daerah lain yang memberlakukan perda 'jilbab'.
Sepengetahuan saya, yang namanya kutipan langsung narasumber tak boleh ditambah atau dikurangi. Ada memang yang berpendapat, boleh dipotong, asal tak menghilangkan subtansi dari pernyataan langsung narasumber. Tapi, kalau ditambah, menurut pendapat saya, 'haram' hukumnya. Apalagi membolak-balik pernyataan, agar terkesan nyambung sesuai kepentingan si pembuat berita.
Yang jadi pertanyaan saya lagi, darimana portalpiyungan.com dan Islampedia mendapatkan berita serupa, lantas membuat judul dengan agak 'sensasional'. Apakah, wartawan Portalpiyungan mewawancarai langsung Menteri Tjahjo? Masih gelap.
Atau mungkin wartawan portalpiyungan.com, menelpon Menteri Tjahjo? Itu juga gelap. Atau jangan-jangan, mereka mengcopy paste berita dari media lain, lalu memodifikasinya sesuai dengan keinginan dan kepentingannya? Jika seperti itu, wah itu yang repot. Berita bisa berubah sesuai selera si pembuat. Karena ada ungkapan, informasi yang bukan lagi disampaikan oleh sumber pertama, bakal kian kabur dan bias. Apalagi bila ada kepentingan, entah itu kepentingan politik orang per orang atau kelompok. Boleh jadi, bila itu isu 'sensitif', tak hanya akan menyulut reaksi, tapi juga sangat mungkin bakal jadi penabuh konflik. Kiblat media bukan kepentingan sempit orang per orang atau kelompok, tapi mendaku pada kepentingan publik.