Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Radio 'Republik' di Tapal Batas

27 Desember 2015   07:19 Diperbarui: 27 Desember 2015   11:22 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu malam, di acara ramah tamah, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, bercerita tentang cara kerja seorang intel, atau mereka yang aktif di lembaga intelijen. Ya, Soedarmo adalah sebelum jadi Dirjen, dia tercatat pernah aktif di Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan di BIN, Soedarmo pernah memegang posisi penting, selain pernah jadi Kepala BIN Daerah, juga sempat jadi staf ahli di badan intel tersebut.

Mayor Jenderal TNI-AD itu juga mengaku dunia intelijen adalah dunianya yang mengakar kuat. Karena sejak lulus dari Akademi Militer, dunia intelijen adalah dunia yang pertama dikenalnya. Sejak lulus, intelijen adalah penugasan pertamanya sampai ia kemudian diangkat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum.

Jadi di dunia intelijen, ia sudah makan asam garam. Kata dia, seorang intel, bekerja dalam senyap. Ia tak tampil dimuka publik, atau jadi 'bintang' yang banyak mengeluarkan statemen. Bahkan menurutnya, hal ini tabu bagi seorang intelijen.
" Bagi seorang intel, memang tak pernah tampil di depan, tampil di muka umum. Itu tabu," kata dia.

Seorang intel itu lanjut Soedarmo, selalu melaksanakan tugasnya seperti lone ranger. Bahkan, acapkali orang-orang intelijen di dalamnya tak tahu. Dia bekerja sendiri membangun jaringan. Lewat jaringan itu ia kemudian mendapatkan pasokan informasi, yang bakal dipilah dan dianalisisnya untuk bahan pertimbangan user dalam membuat sebuah kebijakan atau keputusan.

Jadi hasil kerja intelijen itu tak kentara. Ia pun kemudian bercerita tentang sebuah radio komunitas yang dibangun di tapal batas negara. Radio itu di tapal batas antara Indonesia dengan Kuching, Malaysia. Radio komunitas itu sengaja dibangun untuk menandingi dan membentengi republik dari serbuan siaran-siaran atau propaganda negara luar yang menelusup mempengaruhi warga lewat siaran atau informasi media.

Lewat radio itu, siaran yang berisikan tentang wawasan kebangsaan dikumandangkan. Lagu-lagu Indonesia diputar. Pun, siaran-siaran yang berisikan program pemerintah di tapal batas. Kata Soedarmo, tak ada yang tahu, siapa yang membangun radio komunitas itu.

"Saya misalnya di perbatasan, membangun radio komunikasi. Radio itu dibangun perbatasan Kalimantan Barat dengan Kuching,"katanya.

Dia bangun bangun radio komunitas untuk propaganda. Namun kemasaran siarannya berupa hiburan. Tapi di dalamnya ada pencerahan, supaya mereka yang di perbatasan tak terkontaminasi paham-paham yang bisa merusak rasa persatuan dan kesatuan.

"Mereka ini kan yang didenger selama ini adalah lagu Malaysia. Tak pernah ada lagu-lagu Indonesia. Begitu juga siaran-siaran dari teve-teve Indonesia," kata Soedarmo.

Karena itu kemudian dibangun radio komunitas. Bisa dikatakan juga itu adalah radio penjaga republik di tapal batas. Tidak ada yang tahu, siapa yang bangun itu. Kata Soedarmo, yang bangun radio 'republik' itu adalah BIN.

"Kita bangun radio komunitas, tapi kan tak muncul oh itu yang bangun BIN," katanya.

Prinsip dia, kerja itu harus ada hasilnya. Karena itu ia tak terlalu suka lebih mengedepankan umbar statemen. Dia mengaku bukan tipe No Action Talk Only atau NATO. Dia pekerja yang mementingkan hasil. Tak peduli, dia bekerja dalam senyap tanpa sorotan kamera. Ia bukan orang yang suka publikasi. Terlebih bila tak ada hasil sama sekali.

"Bagi saya yang terpenting hasil. Bukan statemen atau pernyataan. Saya bukan tipe NATO," katanya.

Ia tidak mau seperti teve rusak, ada suara tapi tak ada gambar. Dia tak mau seperti itu. " Saya mau hasilnya dulu, baru setelah kita tampil. Tak malu kalau seperti itu. Harus ada hasilnya dulu, bentuknya ada kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya.

Saat membangun radio komunitas itulah, kata dia, yang ingin ia terapkan di direktorat jenderal yang dipimpinnya. Semua program di Ditjen Politik mesti jelas dan terukur. Itu pula yang ia tekankan kepada para bawahannya di Kementerian Dalam Negeri.

"Programnya apa, kegiatannya apa, sasarannya apa, hasilnya apa. Semua harus on the spot. Tak boleh bias," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun