Suatu malam, di acara ramah tamah, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, bercerita tentang cara kerja seorang intel, atau mereka yang aktif di lembaga intelijen. Ya, Soedarmo adalah sebelum jadi Dirjen, dia tercatat pernah aktif di Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan di BIN, Soedarmo pernah memegang posisi penting, selain pernah jadi Kepala BIN Daerah, juga sempat jadi staf ahli di badan intel tersebut.
Mayor Jenderal TNI-AD itu juga mengaku dunia intelijen adalah dunianya yang mengakar kuat. Karena sejak lulus dari Akademi Militer, dunia intelijen adalah dunia yang pertama dikenalnya. Sejak lulus, intelijen adalah penugasan pertamanya sampai ia kemudian diangkat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum.
Jadi di dunia intelijen, ia sudah makan asam garam. Kata dia, seorang intel, bekerja dalam senyap. Ia tak tampil dimuka publik, atau jadi 'bintang' yang banyak mengeluarkan statemen. Bahkan menurutnya, hal ini tabu bagi seorang intelijen.
" Bagi seorang intel, memang tak pernah tampil di depan, tampil di muka umum. Itu tabu," kata dia.
Seorang intel itu lanjut Soedarmo, selalu melaksanakan tugasnya seperti lone ranger. Bahkan, acapkali orang-orang intelijen di dalamnya tak tahu. Dia bekerja sendiri membangun jaringan. Lewat jaringan itu ia kemudian mendapatkan pasokan informasi, yang bakal dipilah dan dianalisisnya untuk bahan pertimbangan user dalam membuat sebuah kebijakan atau keputusan.
Jadi hasil kerja intelijen itu tak kentara. Ia pun kemudian bercerita tentang sebuah radio komunitas yang dibangun di tapal batas negara. Radio itu di tapal batas antara Indonesia dengan Kuching, Malaysia. Radio komunitas itu sengaja dibangun untuk menandingi dan membentengi republik dari serbuan siaran-siaran atau propaganda negara luar yang menelusup mempengaruhi warga lewat siaran atau informasi media.
Lewat radio itu, siaran yang berisikan tentang wawasan kebangsaan dikumandangkan. Lagu-lagu Indonesia diputar. Pun, siaran-siaran yang berisikan program pemerintah di tapal batas. Kata Soedarmo, tak ada yang tahu, siapa yang membangun radio komunitas itu.
"Saya misalnya di perbatasan, membangun radio komunikasi. Radio itu dibangun perbatasan Kalimantan Barat dengan Kuching,"katanya.
Dia bangun bangun radio komunitas untuk propaganda. Namun kemasaran siarannya berupa hiburan. Tapi di dalamnya ada pencerahan, supaya mereka yang di perbatasan tak terkontaminasi paham-paham yang bisa merusak rasa persatuan dan kesatuan.
"Mereka ini kan yang didenger selama ini adalah lagu Malaysia. Tak pernah ada lagu-lagu Indonesia. Begitu juga siaran-siaran dari teve-teve Indonesia," kata Soedarmo.
Karena itu kemudian dibangun radio komunitas. Bisa dikatakan juga itu adalah radio penjaga republik di tapal batas. Tidak ada yang tahu, siapa yang bangun itu. Kata Soedarmo, yang bangun radio 'republik' itu adalah BIN.
"Kita bangun radio komunitas, tapi kan tak muncul oh itu yang bangun BIN," katanya.