Ya, bisa saja untuk menunjukan ketegaran, Pak Prasetyo akan bilang, dirinya akan manut apapun titah Presiden, karena jabatan hanya amanah. Pernyataan yang tawadhu memang dan nampak seperti bentuk keikhlasan tiada tara. Namun, pasti rasa kecewa dan sedih tak bisa ditolak. Yang namanya kehilangan jabatan, apalagi ini jabatan penting dan bertuah, pasti akan sedih. Wong kehilangan jabatan RT saja, banyak yang berduka. Apalagi ini, kehilangan jabatan Jaksa Agung.
Dicopot dari jabatan jaksa agung, persis sama di PHK dari perusahaan. Walau kadar rasa sedihnya mungkin berbeda. Kalau si pulan di PHK dari sebuah perusahaan, mungkin ia bisa kembali cari pekerjaan lain. Atau kemudian mencoba berwirausaha, entah berjualan baso atau pakaian. Atau jadi pengemudi Go-Jek.
Lha ini di PHK dari kabinet, di copot dari Jaksa Agung, masa kemudian jualan baju atau jadi pengemudi Go-Jek? Ya, minimal posisi pengganti yang agak setara. Misalnya jadi Duta Besar, atau staf khusus Presiden. Kalau itu bisa sedikit menghibur duka hati karena kehilangan jabatan. Tapi bagaimana kalau sudah dicopot, diperiksa penegak hukum pula? Ah, kalau itu sih amit-amit jabang bayi. Bila itu yang terjadi, malunya yang tak ketulungan. Meski belum tentu juga bersalah. Namun 'vonis sosial' pasti tak bisa dicegah. Apalagi, yang meriksa itu adalah KPK. Wah, sudah dipastikan semua mata akan menyorot. Cibiran pun tak bisa dihindari. Pada titik inilah, pengadilan sudah berlangsung. Bahkan vonis telah dijatuhkan, meski hakim belum mengetok palu.
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H