Ujung turnamen Piala Presiden akan digelar, Minggu, 18 Oktober 2015. Ini ajang yang banyak dikatakan sebagai 'obat sementara' setelah Liga Indonesia versi PSSI tak jadi digelar. Partai puncak Piala Presiden, mempertemukan dua klub dari dua pulau berbeda, yakni Sriwijaya FC mewakili Sumatera, dan Persib Bandung yang merepresentasikan kekuatan sepakbola di tatar Jawa.
Menarik memang untuk disimak. Bahkan, partai puncak ini jadi pembicaraan dimana-mana. Jelang laga, media gencar memberitakannya. Namun sayang, yang diberitakan, bukan soal taktik apa yang akan dipakai sang pelatih dua klub tersebut. Atau siapa pemain yang patut diwaspadai.
Berita yang mencuat justru soal kekhawatiran terjadinya bentrok. Bahkan yang menyeramkan, kemungkinan terjadinya rusuh besar. Sampai kemudian, Polda Metro sebagai penanggungjawab keamanan di ibukota, perlu menetapkan status Siaga I di Ibukota pada hari Ahad nanti.
Jangan anggap remeh, kata kawan saya, bila polisi sudah menetapkan Siaga I. Status itu tak dibuat main-main. Itu bukan status untuk keperluan mejeng di akun Facebook atau di BBM. Tapi, status yang ditetapkan polisi, yang tahu ukuran potensi konflik.
Dan, letupan-letupan kecil terjadi. Dari portal berita saya baca, terjadi insiden pelemparan, penghadangan bahkan sweeping di jalan terhadap mobil-mobil berplat nomor asal Bandung. Katanya, yang melakukan oknum Jak Mania, penggemar berat Persija Jakarta, klub bola kebanggaan masyarakat Ibukota.
Menurut berita, sweeping dilakukan, imbas dari perseteruan yang tak puguh ujung antara Jack Mania dengan bobotoh, sebutan bagi penggila Persib Bandung. Pendukung si Maung Bandung, yang terkenal adalah Viking. Ya, sweeping itu adalah buntut dari perseteruan antara Viking dan Jak Mania yang tak pernah ada kata damai. Padahal rekonsiliasi telah lakukan berkali-kali dan ikrar damai pun sudah bosan disuarakan. Namun, mereka tetap bertarung. Mereka tetap saling lempar. Bahkan, tak segan saling acungkan senjata tajam.
Kata kawan saya, mereka yang melempar, mereka yang melakukan sweeping, dan mereka yang selalu saja buat rusuh, pada dasarnya adalah orang-orang yang pikirannya sempit. Fanatisme membutakan mereka. Yang ada di pikiran mereka, jika pun klub yang didukung tergusur, jangan sampai suporter ikut terkubur.
Suporter mesti jadi pemenang, dengan cara apapun. Maka, mereka pun melempar batu. Dan, seperti itu rumusan tindakan heroik di benak mereka. Nah, kata kawan saya, ini adalah peluang bagi Kementerian Pertahanan, yang sedang punya gawe besar menggelindingkan program bela negara.
Kini, menjelang Final Piala Presiden, telah tersedia calon peserta bela negara yang punya potensi. Ini momentum mendapatkan kader bela negara yang punya militansi kuat. Karena itu, kata kawan saya, Kementerian Pertahanan mesti pro aktif, jemput bola ke Polda Metro untuk mendapatkan calon peserta bela negara yang hebat itu.
Kenapa, mereka calon peserta bela negara yang hebat? Ada beberapa alasan kata kawan saya. Pertama, sudah pasti mereka punya keberanian yang berlebih, diatas rata-rata. Faktanya, polisi sudah tetapkan status Siaga I, bahkan polisi juga sudah menegaskan bakal menindak tegas perusuh, tapi mereka tetap saja berani melempar dan menghadang. Ini kan, keberanian diatas rata-rata, kata kawan saya.
Tinggal keberanian yang bengkok iitu diluruskan, di tempatkan pada tempatnya yang benar. Dan itu, menurut kawan saya, adalah tugas dari instruktur bela negara. Setidaknya, bila telah digembleng, dan diluruskan, para suporter yang gagah berani itu, bisa jadi andalan untuk menghadang musuh negara. Dengan begitu, bisa lahir barisan penghadang musuh negara yang pemberani.
Alasan kedua, mereka punya fanatisme yang kuat. Bayangkan saja, saat klubnya tak bertanding, mereka tetap 'turun ke lapangan' membela panji-panji klub kesayangannya. Mereka tetap berlaga meski di pinggir jalan, untuk menunjukan bahwa mereka dan klubnya itu eksis.
Fanatisme mereka memang salah. Karena itu, mereka sangat layak jadi peserta program bela negara. Mereka sangat memenuhi kriteria, punya keberanian, punya fanatisme yang menyala. Tinggal diluruskan saja, bahwa fanatisme itu yang betul adalah kepada negara. Dan, bentuknya bukan fanatisme buta, tapi rasa cinta terhadap bangsa.
Bila rasa cinta buta pada klub sudah mampu ditransformasikan menjadi rasa cinta kepada Tanah Air, wah ini adalah kekuatan dashyat. Mereka, akan jadi andalan hebat yang siap diterjunkan di mana saja.
" Kemana kira-kira mereka diterjunkan? Atau di medan mana mereka bisa dikerahkan?" saya coba bertanya kepada kawan saya.
" Terjunkan saja ke daerah asap. Mereka bisa diandalkan untuk berperang melawan asap. Dan mereka bisa membuktikan diri, bahwa mereka juga mencintai negeri ini. Ini lebih berharga, ketimbang melempar kaca mobil, yang hanya membuat mereka dicaci bahkan dibui. Mending mensweeping asap, ini lebih pasti. Mereka tak akan dicaci. Justru akan dapat tepuk tangan dari semua anak bangsa. Bahkan bisa didaulat jadi pahlawan," kata kawan saya sambil ngeloyor pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H