Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Langka, Pemimpin Seperti Kyai Gus Mus

4 Oktober 2015   10:18 Diperbarui: 4 Oktober 2015   14:20 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin yang dipilih rakyat, bukanlah majikan. Dia hanya pelayan, pelaksana mandat. Maka, janganlah kemudian merasa jadi raja, atau bos, yang selalu ingin titahnya digugu tanpa dibantah.

Ada sebuah artikel menarik yang saya baca di situs blogspot.co.id tentang kepemimpinan. Dalam artikel itu, ada sebuah kata mutiara.

" Untuk memimpin diri sendiri gunakanlah rasio anda dan untuk memimpin orang lain gunakanlah hati anda,"

Saya sepakat dengan kata-kata mutiara itu. Memimpin dengan hati, itu yang diperlukan. Dan, memang itu pula yang langka di negeri ini hari ini. Banyak memang orang yang berstatus 'pemimpin'. Namun mereka masih bersikap seperti majikan. Bukan pemimpin yang melayani.

Perubahan yang lebih baik, memang tujuan dari seorang pemimpin. Karena tanpa perubahan, alhasil pemimpin akan dianggap tak meninggalkan jejak. Namun mencatatkan jejak yang akan dikenang sepanjang masa, bukan perkara mudah. Karena itu dibutuhkan seni dalam memimpin.

Pemimpin itu harus bisa menggerakan orang yang dipimpinnya. Namun, menggerakan bukan berarti dengan titah yang tak bisa dibantah. Tapi, bagaimana membuat orang yang dipimpin itu, berkembang, lalu berbuat dan melakukan perubahan secara sukarela.

Dengan ketegasan? Ya, itu yang diperlukan. Tapi, tegas bukan berarti menggebuk. Tegas dengan cara merangkul. Tegas menggunakan hati. Karena tegas dengan wajah yang angker, hanya akan membuat bawahan ketakutan.

Maka, tegas dengan wajah lembut yang akan menumbuhkan kepercayaan. Bukan tegas dengan cara kasar, yang hanya akan memicu perlawanan, ketidaksukaan, dan sakit hati. Padahal tugas pemimpin itu, bagaimana ia bisa membuat lawan menjadi kawan, bukan menambah musuh. Memang, tindakan seorang pemimpin pasti tak akan memuaskan semua orang. Namun yang penting, tindakan itu bisa dipahami, walau tak disepakati.

Karena itu memimpinlah dengan hati. Bukan dengan emosi. Memimpin dengan hati, lebih berpeluang jadi pemimpin yang dihormati. Tapi, memimpin dengan emosi, hanya akan melahirkan pandangan tentang sosok pemimpin 'bertangan besi'.

Maka dekatilah, mereka yang dipimpin dengan hati. Dengarkan. Dan jangan selalu terus disalahkan. Lalu gerakan mereka dengan hati pula. Jangan perintahkan mereka dengan omelan. Karena, walau tercipta kepatuhan, mungkin itu bersifat semu. Bukan kepatuhan tulus. Sebab, kepatuhan tercipta oleh sebuah ketakutan. Lebih baik, bangun kepatuhan dengan cara yang luwes, bukan langsung dengan 'gebukan'.

Bila terjadi masalah, jangan tergesa menyalahkan bawahan, atau pihak lain. Tapi, coba tanyakan pada diri sendiri. Intropeksi lebih baik, daripada emosi membabi buta. Andai benar, tegaskan dengan cara yang enak. Tak usah misuh-misuh atau marah-marah. Seperti dalam artikel yang saya baca itu. Sentuh hati orang lain dan orang lain akan dengan sukarela mengikuti anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun