Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Bisri, Jadi Pamong di Daerah 'Santet'

21 September 2015   15:52 Diperbarui: 21 September 2015   20:02 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lewat saya pernah berbincang dengan seorang pegawai negeri sipil. Dia bertugas di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor. Bisri demikian ia mengenalkan namanya. Orangnya, suka humor. Jika tertawa, selalu ngakak.

Di temani kue kering, saya ngobrol ngalor ngidul dengannya di ruangan Kepala Biro Kemahasiswaan IPDN, Arief M Edie. Kebetulan waktu itu saya ada keperluan liputan ke sana, mencari bahan pelengkap tulisan tentang rekrutmen calon praja IPDN yang sedang saya buat atas perintah redaktur. Waktu itu memang tengah ramai-ramainya berita usulan pembubaran sekolah pamong praja itu yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Di Kampus IPDN itulah saya bertemu Bisri. Saya lupa jabatannya apa di sana. Ia yang kemudian menemani saya ngobrol setelah mewawancarai Rektor IPDN, Ermaya Suradinata. Sambil mengunyah kue, Bisri bercerita pengalamannya pertama kali jadi pamong selepas lulus dari IPDN.

Kata dia, ketika itu ia ditugaskan ke Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Bisri pun memulai kisahnya. Setelah melapor ke Pemkab Tapanuli Selatan, ia pun langsung pergi ke Kecamatan Barus.
Kata dia, Kecamatan Barus, Tapanuli Selatan sendiri adalah kecamatan yang penduduknya mayoritas non muslim. Muslim di sana mungkin hanya 11 persen saja. Kecamatan itu, wilayahnya gabungan antara pantai dan pegunungan.
" Dulu, Kecamatan Barus juga berbatasan dengan Aceh," kata Bisri.

Transportasi kesana, bisa menggunakan bus. Dari ibukota kabupaten Tapanuli Selatan, jaraknya sekitar 65 kilometer. Ketika itu kondisi jalan sangat jelek, banyak lubang dan aspal yang mengelupas.
" Kalau hujan sungai suka meluapkan banjir," katanya.

Hari sudah malam, ketika ia berangkat dari terminal bus menuju Kecamatan Barus. Dan setelah menempuh perjalanan melewati jalanan penuh lubang, pagi-pagi dia sampai di Kecamatan Baru. Ia pun langsung menuju kantor kecamatan. Ternyata kantor belum buka, karena dia memang datang saat pagi masih remang.

" Pagi, kantor camat belum buka." katanya.

Karena belum buka, ia pun nongkrong di warung dekat kantor kecamatan yang jug belum buka. Bawa ransel, dan juga sebagai orang asing yang datang sendirian, sendirian, ia pun celangak celinguk saja di sana. " Padahal mas, kan saya sudah dapat cerita yang serem-serem, serem-serem, di Barus itu terkenal dengan santetnya, duh benar- benar lumayan tegang," katanya.

Sampai warung pun akhirnya buka. Saat warung mulai buka, datang petugas Koramil yang memandang heran padanya. Tapi setelah memperkenalkan diri, lalu mengobrol tentara dari Koramil setempat itu akhirnya paham dan tahu siapa dirinya.
" Katanya, baru sekitar jam 9 kantor camat buka. Sementara waktu itu masih jam delapan," ujar Bisri.

Ia pun kemudian pamit kepada petugas Koramil dan menuju ke kantor Camat. Belum juga satu pun staf yang datang. Karena suntuk ia ngegelosor saja di lantai tepat di depan pintu masuk kantor Camat. Tak juga ada yang datang. Karena makin suntuk, ia pun berinisiatif ngambil sapu, lalu bersih-bersih. Sampai kemudian ada staf kecamatan datang yang memandang heran, ada orang asing bersih-bersih di halaman kantor.

" Kebetulan orang kecamatan tua-tua, kaget dia," ujar Bisri.

Setelah banyak staf yang datang dan camat pun juga kemudian datang, ia pun melapor. Ia kemudian di tempatkan bekerja di bagian urusan pembangunan desa. " Saya masih ingat, kasinya (kepala seksi) bernama Pak Sihombing," ujar Bisri.

Tugasnya di sana jadi pendamping untuk program pengentasan daerah atau desa tertinggal. Maka, tugas rutin sehari-hari adalah menemani Pak Sihombing bosnya berkunjung dari desa ke desa di Kecamatan Barus.

" Saya pernah datang ke suatu desa, naik motor, tapi kemudian motor tak bisa masuk. Ya, terpaksa jalan kaki naik turun pegunungan, enam jam lamanya baru sampai," kata dia.

Karena medan yang berat, maka ketika ia ditugaskan datang ke desa yang jauh, maka perlengkapan pun disiapkan, mulai ransel, sampai sepatu lars. Untungnya di IPDN ia sudah ditempa olah fisik. Sehingga medan berat, tak jadi masalah. Seminggu dua kali, ia jalani menu turun gunung naik bukit.

" Nah di sana itu, mungkin karena tradisi, ya setiap berkunjung selalu di suguhi minuman beralkohol. Nah itu yang jadi tantangan saya. Saya muslim, saya berpikir bagaimana biar mereka menerima saya," kata Bisri.

Namun seiring waktu, ia pun akhirnya di terima warga di sana. Bahkan, akrab dan karib. Setiap ada kegiatan atau upacara adat, ia selalu di undang. Dan warga di sana, menghormati keyakinan dia. Tak hanya, kalau ada yang gelar hajatan, pasti namanya selalu tertera dalam undangan.

" Banyak kenangan di sana, suka dan duka. Naik turun gunung. Menemani orang mabuk, ya macam-macamlah. Untungnya saya tak jadi pemabuk, ha.ha.ha.ha, " kata Bisri sambil tertawa ngakak.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun