Setelah banyak staf yang datang dan camat pun juga kemudian datang, ia pun melapor. Ia kemudian di tempatkan bekerja di bagian urusan pembangunan desa. " Saya masih ingat, kasinya (kepala seksi) bernama Pak Sihombing," ujar Bisri.
Tugasnya di sana jadi pendamping untuk program pengentasan daerah atau desa tertinggal. Maka, tugas rutin sehari-hari adalah menemani Pak Sihombing bosnya berkunjung dari desa ke desa di Kecamatan Barus.
" Saya pernah datang ke suatu desa, naik motor, tapi kemudian motor tak bisa masuk. Ya, terpaksa jalan kaki naik turun pegunungan, enam jam lamanya baru sampai," kata dia.
Karena medan yang berat, maka ketika ia ditugaskan datang ke desa yang jauh, maka perlengkapan pun disiapkan, mulai ransel, sampai sepatu lars. Untungnya di IPDN ia sudah ditempa olah fisik. Sehingga medan berat, tak jadi masalah. Seminggu dua kali, ia jalani menu turun gunung naik bukit.
" Nah di sana itu, mungkin karena tradisi, ya setiap berkunjung selalu di suguhi minuman beralkohol. Nah itu yang jadi tantangan saya. Saya muslim, saya berpikir bagaimana biar mereka menerima saya," kata Bisri.
Namun seiring waktu, ia pun akhirnya di terima warga di sana. Bahkan, akrab dan karib. Setiap ada kegiatan atau upacara adat, ia selalu di undang. Dan warga di sana, menghormati keyakinan dia. Tak hanya, kalau ada yang gelar hajatan, pasti namanya selalu tertera dalam undangan.
" Banyak kenangan di sana, suka dan duka. Naik turun gunung. Menemani orang mabuk, ya macam-macamlah. Untungnya saya tak jadi pemabuk, ha.ha.ha.ha, " kata Bisri sambil tertawa ngakak.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H