"Otonomi kita, otonomi daerah asimetris," kata Bahtiar, Kepala Bagian Perundang-Undangan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, saat berbincang dengan saya di suatu malam. Saya sudah lama mengenal lelaki asal Sulawesi itu. Adalah penempatan saya dari kantor untuk meliput kegiatan di Kementerian Dalam Negeri, yang mengenalkan saya dengan Bahtiar. Saya biasa memanggilnya abang.
Di temani dengan sepiring gorengan dan secangkir kopi hitam, kami pun mengobrol ngalor ngidul, membicarakan banyak hal. Ikut nimbrung dalam obrolan Carlos, seorang wartawan, Vidi juga seorang wartawan, dan Pak Acho Maddaremmeng, seorang staf di Kementerian Dalam Negeri.
Salah satu yang diobrolkan adalah tentang Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini, adalah regulasi pengganti UU Nomor 32 tahun 2004. Saat ini kata Bahtiar, pihaknya sedang ngebut bekerja menyelesaikan beberapa Peraturan Pemerintah, sebagai aturan turunan teknis dari UU Pemda yang baru.
Bang Bahtiar melanjutkan penjelasannya tentang bangunan otonomi daerah di Indonesia. Karena otonomi yang diterapkan asimetris, ada daerah yang kemudian diperlakukan istimewa dengan alasan-alasan tertentu. Misalnya Aceh, yang mendapat status otonomi khusus karena perjanjian Helsinki. Lalu Papua, Yogyakarta dan Jakarta.
Namun yang pasti, kata Bang Bahtiar, tetap saja semuanya dalam bangunan negara kesatuan. Tapi kemudian ia menerawang. " Coba kita bayangkan akan seperti apa republik ini 50 tahun kedepan, dengan kondisi seperti sekarang ini," katanya.
Semua terdiam. Saya coba mencari-cara bahan untuk menanggapinya. Cangkir kopi saya ambil, dan isinya saya seruput perlahan. Mungkin, setelah minum kopi, ilham bisa mampir ke otak. Sampai kemudian Bang Bahtiar berkata lagi.
" Kita ini selalu saja bongkar pasang regulasi. Regulasi dibuat, tapi tak berumur panjang setelah itu dirubah lagi. Selalu tak pasti. Memang ini untuk perbaikan, tapi kok terlalu sering," ujarnya.
Tiba-tiba Carlos ikut nimbrung. " Ya bang, setiap ganti rezim, ganti pula kebijakan. Ganti pula UU," kata Carlos.
" Ya saya setuju, kita tak pernah merasakan sebuah kontinuitas, selalu zig zag dan tak pasti," tiba-tiba saja saya nyeletuk ikut nambah ramai obrolan.
Tapi kata Bang Bahtiar, dengan UU Pemda yang baru, posisi pemerintah sangat kuat atau dalam bahasa dia, dikuatkan. Ia pun mencontohkan posisi Menteri Dalam Negeri sebagai koordinator dan pembina kepala daerah. Sebagai koordinator, Mendagri menurut UU Pemda yang baru, bisa memberi sanksi kepada kepala daerah. Sanksi itu berupa teguran, atau lebih dari itu.
" Nah, sebagai koordinator Mendagri punya kewenangan agar para kepala daerah, apakah itu gubernur atau bupati tetap dalam satu koridor NKRI. Mendagri-lah yang menjaga, atau dalam kata lain, dialah satu penjaga republik ini. Kan dia triumvirat," kata Bang Bahtiar.
Namun ia yakin, Tjahjo Kumolo sebagai Mendagri saat ini mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Pengalamannya sebagai politisi yang sudah makan asam garam, adalah bekal berharga dalam menjaga poros pemerintahan tetap berjalan dalam koridor NKRI.
"Pak Tjahjo sebagai politisi, saya yakin bisa menjadi Mendagri sebagai penjaga republik," katanya.
Karena kata Bang Bahtiar, politisi yang sudah lama malang melintang biasanya luwes dalam menyikapi sebuah persoalan. Tapi bisa lugas ketika harus menegaskan posisi. Namun tanpa menimbulkan kegaduhan. " Politisi yang matang biasanya tenang menghadapi masalah. Tapi bukan berarti tak bisa lugas. Namun lugas dia terukur," kata Bang Bahtiar.
Namun yang ia khawatirkan, adalah otonomi yang kebablasan. Ia berharap kekhawatiran itu tak terjadi. Riak yang terjadi, semoga membuat daya tahan republik ini kian kuat. Badai yang menerpa, semoga tak merapuhkan tiang penyangga republik. Sehingga 50 tahun kedepan dan seterusnya NKRI ini tetap tegak.
" Dan menjadi republik yang dewasa. Jangan Sampai republik ini roboh. Ini yang harus kita jaga," katanya.
Setelah usai mengobrol ngalor ngidul, saya pun pamit, karena malam kian larut. Sementara Bang Bahtiar, katanya hendak melanjutkan pekerjaan. Wah pegawai yang berdedikasi. Dalam perjalanan pulang, saya teringat wawancara saya dengan Wakil Ketua Setara Institut, Bonar Tigor Naipospos. Wawancara dengan Bang Bonar Tigor Naipospos sendiri, untuk keperluan berita. Bang Tigor, dalam pernyataannya yang saya catat, mengkhawatirkan fenomena Peraturan Daerah atau sejenisnya yang beberapa ketentuannya bertentangan dengan UU diatasnya. Misalnya ketentuan sanksi pidana dalam Perda atau Qanun. Sekarang sedang dibuat UU KUHP yang baru. Ia berharap, ketentuan pidana dalam Perda atau Qanun, tak bertentangan dengan UU KUHP. Bila bertentangan, mereka sama saja keluar dari hukum yang digariskan republik ini. " Kementerian Dalam Negeri harus tegas. Ada yang bertentangan ya batalkan," kata Bang Bonar.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo sendiri mengungkapkan, pihaknya banyak mengevaluasi Perda yang dinilai bermasalah. Ratusan bahkan ribuan Perda setelah dievaluasi banyak yang kemudian dikembalikan ke daerah untuk diperbaiki bahkan dibatalkan.
" Banyak yang isinya itu tak sesuai dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atasnya, bahkan tak sesuai dengan semangat konstitusi," kata Menteri Tjahjo.
Sebagai Mendagri, ia punya tanggungjawab yang berat, memastikan poros pemerintahan bisa berjalan tetap dalam koridor NKRI. Karena itu, ia akan bersikap tegas terhadap fenomena-fenomena yang akan membahayakan bangunan NKRI. Indonesia, kata Menteri Tjahjo, bukan negara agama. Tapi Indonesia adalah negara kesatuan. Itu sudah jelas. Panduan pun sudah jelas, konstitusi, UU dan aturan turunan lainnya. Dan bangsa Indonesia juga mempunyai Pancasila. Jadi jangan keluar dari garis itu, kata Menteri Tjahjo dengan tegas.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H