Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Ahok dan Kerinduan Saya pada Kyai Gus Mus

8 September 2015   16:24 Diperbarui: 8 September 2015   17:36 3310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jadi sebelum digoblok-kan orang, apalagi sama Pak Ahok, saya lebih baik mengaku goblok duluan. Jad mohon maaf orang goblok ini, ikut mengomentari hal yang sebenarnya tak perlu saya komentari. Tapi, terus terang sebagai warga Jakarta, dan terus terang pula yang kemarin sedikit menyumbangkan suara untuk Pak Ahok dan Pak Jokowi dalam Pilgub Jakarta, saya ingin juga ikut berkomentar. Meski pastinya, komentar saya ini, hanya akan terdengar samar di pinggiran. Atau bahkan mungkin sama sekali tak terdengar.  

Pak Ahok, dalam beberapa hal, terus terang saya sangat menyukai bapak. Keberanian bapak menentang dana siluman, wah itu paling saya demen. Pemimpin memang harus seperti itu, pasang badan untuk menyelamat uang rakyat. 

Namun Pak Ahok, saya juga terus terang agak kurang suka dengan gaya bertutur bapak. Terutama tutur bapak, yang begitu gampang menggoblok-kan orang. Bagi saya, sekali lagi ini pendapat orang goblok, seorang pemimpin tak mestinya berkata seperti mengajak berkelahi. Bahwa pemimpin pasti tak akan sepi kritik, itu pasti. Saya kira itu hukum alam. Semakin tinggi sebatang pohon, semakin kuat terpaan angin. 

Tapi mungkin itu gaya bapak. Dan mungkin tak bisa dirubah. Walau menurut saya, pasti bisa dirubah. Maka ketika Kyai Mustofa Bisri, di hadapan para muktamirin yang sedang 'berbeda pendapat', tampil berpidato berurai air mata, dan dengan kalimat yang sangat menyentuh, meminta maaf, serta bersedia bersimpuh menyium kaki para muktamirin, saya bergetar. 

Bagi saya begitulah seorang pemimpin. Dia tak segan meminta maaf, karena dia sadar, walau dia seorang kyai yang sangat digugu dan dihormati, Kyai Mus, tetap manusia biasa. Dan, tak merasa dia adalah orang paling hebat. Maka ia pun merunduk ke para muktamirin yang notabene bisa disebut jamaahnya

Saya rindu pemimpin seperti itu. Pemimpin yang mampu menenangkan banyak orang. Pemimpin yang tak justru bikin gaduh dan membuat emosi orang tersulut. Karena pemimpin itu milik semuanya. Milik pendukungnya. Dan juga milik yang bukan pendukungnya. 

Namun setiap orang tentu punya gaya berbeda. Pak Ahok jelas bukan Kyai Mus. Dan Kyai Mus juga bukan Ahok. Tapi saya sendiri lebih suka gaya Kyai Mus, dalam menenangkan sebuah permasalahan. Sayang Kyai Mus, bukan gubernur Jakarta. Serta tak mungkin jadi gubernur, bahkan Presiden. 

Kalau Pak Ahok, adalah gubernur. Dan sangat mungkin juga jadi Mendagri, atau bahkan Presiden, karena memang dalam beberapa kesempatan Pak Ahok mengakui memang ingin jadi Presiden. Itu pun tentunya bila didukung rakyat. Tapi saya sendiri tak bisa bayangkan bila Pak Ahok, jadi Presiden, lantas gaya bertutur atau cara menanggapi pendapat orang seperti sekarang ini.

Mungkin saja tiap hari, saya akan disodorkan berita yang berisikan adu kata dan silat lidah. Saling serang. Dan merasa selalu yang paling benar. Apa sebaiknya dihentikan saja kegaduhan ini. Atau minimal diredakan. Sekarang bekerja saja dengan tenang, masih banyak pekerjaan besar dan lebih penting ketimbang mengurus pembubaran sebuah sekolah.

Namun bila menurut Pak Ahok itu perlu diteruskan, silahkan saja. Sebagai gubernur, bapak berhak untuk tak menempatkan para alumni IPDN dalam posisi-posisi penting di DKI Jakarta. Anggap saja itu test the water. Warga seperti saya tentu hanya bisa melihat dan menilai, apa benar akan lebih baik? 

Namun mungkin, Pak Ahok perlu banyak menyerap informasi tentang lulusan IPDN. Saya kurang begitu yakin, semua lulusan IPDN seperti yang Pak Ahok gambarkan. Saya pernah dapat cerita, di Maluku, ada seorang camat lulusan IPDN, sampai harus merangkap jadi guru sekolah, saking tak adanya guru di daerah tempatnya ditugaskan. Mungkin Pak Ahok bila bersedia, coba cari tahu siapa camat mulia itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun