Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Jusuf Kalla?

4 September 2015   14:28 Diperbarui: 4 September 2015   14:44 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siang hari menjelang solat Jum'at, saya membaca berita di portal berita jppn.com, situs berita milik Grup Jawa Pos. Dalam berita berjudul " Buwas: Jusuf Kalla Telepon Saya Minta Pelindo II Tak Diusut," dikutip pernyataan blak-blakan dari Komisaris Jenderal Budi Waseso, atau biasa dipanggil Buwas, Kabareskrim yang sekarang digeser menjadi Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN). Dalam pernyataannya, Jenderal Buwas mengakui, bahwa ia memang ditelepon langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketika melakukan penggeledahan di kantor PT Pelindo II, Jakarta.

Via telepon menurut penuturan Jenderal Buwas, Wapres meminta sang jenderal tak mengusut kasus di PT Pelindo. Alasannya, kebijakan korporasi tak bisa dipidana. Sementara Jenderal Buwas, merasa hakul yaqin, ada tindak pidana dalam kasus pengadaan mobile crane yang dilakukan PT Pelindo. Bahkan, dalam berita itu, Jenderal Buwas, yakin 1000 persen, kasus pengadaan mobile crane, ada unsur tindak pidana.

Masih di berita itu juga, sang jenderal merasa tak mengerti dengan jalan pikiran orang nomor dua di republik ini. "Kok cara berpikirnya demikian?," kata Jenderal Buwas mempertanyakan sikap Jusuf Kalla seperti yang dikutip wartawan jpnn.com.

Ia pun memilih untuk jalan terus. Kasus pengadaan mobile crane tetap diusut. Bahkan, Bareskrim telah menetapkan seorang tersangka, yakni Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Nurlan.

Pengakuan Buwas ini memang klop dengan pengakuan Jusuf Kalla sebelumnya yang juga banyak dikutip media-media, bahwa dirinya memang menelpon langsung sang jenderal dari Seoul Korea Selatan. Saat itu, sang Wapres tengah melakukan kunjungan kerja di negeri ginseng tersebut.

Darimana Kalla tahu, Buwas sedang menggeledah PT Pelindo? Saya tak tahu, karena di berita itu tak diungkapkan. Pun, Jusuf Kalla juga tak menjelaskan soal itu, hanya pengakuannya ia menelpon langsung sang jenderal dari Korea Selatan. Namun yang pasti, saat penyidik Bareskrim menggeledah kantor Pelindo, dimana ruangan kerja Direktur Utama PT Pelindo, RJ Lino juga ikut digeledah, muncul cerita yang kemudian menjadi geger. Cerita itu adalah tentang kemarahan RJ Lino yang tak terima PT Pelindo digeledah. RJ Lino, bahkan langsung menelpon Sofyan Djalil, mantan Menko Perekonomian yang digeser jadi Kepala Bappenas.

Soal telepon RJ Lino, Sofyan Djalil mengakuinya. Kemudian terungkap, bahwa via telepon RJ Lino, mengancam akan mengundurkan diri dari Dirut Pelindo, bila Bareskrim terus melakukan pengusutan. Dan, Lino meminta Sofyan Djalil, menyampaikannya ke Presiden Jokowi.

Siapa pun tahu, Sofyan Djalil, adalah 'orang dekat' Jusuf Kalla. Bahkan, ketika ia diangkat jadi Menko Perekonomian, namanya disodorkan oleh Jusuf Kalla. Begitulah gosip yang mencuat menjelang kabinet Kerja di umumkan. Mungkinkah Sofyan Djalil yang memberi tahu Kalla? Mungkin saja, bila merujuk pada kabar 'kedekatannya' dengan Kalla. Tapi, Sofyan Djalil sendiri belum pernah bicara tentang itu.

Ataukah mungkin RJ Lino sendiri yang menelpon Kalla? Ini pun mungkin saja. Karena kabarnya, RJ Lino kerap mengklaim, ia mudah mengontak RI 1 atau RI 2, tak hanya menteri. Terlebih setelah itu muncul informasi yang beredar di media sosial, bahwa keluarga RJ Lino punya saham di PT Bukaka. PT Bukaka sendiri lekat dengan sosok Kalla. Namun ini pun baru spekulasi. Ya, ketika terjadi kehebohan, selalu saja informasi-informasi yang ada dikait-kaitkan.

Namun alangkah baiknya, Jusuf Kalla, Sofyan Djalil, atau RJ Lino menjelaskan itu. Atau bahkan mengklarifikasi segala desas-desus, bahwa mereka satu 'connection'. Karena bila tak ada penjelasan yang terang benderang, ini akan terus jadi bahan spekulasi. Desas-desus tak akan pernah bisa dihentikan. Ujungnya, ini akan jadi gunjingan yang boleh jadi bakal menjadi kegaduhan baru di kemudian hari.

Tapi memang, setelah membaca berita itu, saya pun bertanya-tanya, ada apa dengan Jusuf Kalla, sampai harus menelpon langsung Jenderal Buwas dan meminta tak mengusut kasus Pelindo. Kenapa seorang wapres sampai minta aparat untuk tak mengusut sebuah kasus? Apa motifnya? Apa kepentingannya?

Kalla sendiri memang pernah menyatakan, bahwa soal kebijakan itu tak bisa dipidana. Dan itu, kata Kalla sudah jadi direksi Presiden, yang disampaikan kepada para Kapolda, kala bertemu di Istana Bogor. Sayang, Presiden Jokowi sendiri belum memberikan pernyataan satu kali pun terkait gonjang-ganjing pencopotan Jenderal Buwas, sampai kemudian isu itu jadi kenyataan.

Saya sendiri, agak heran dengan sikap Kalla, ketika menyikapi kasus penggeledahan Pelindo. Kalla, tampak trengginas dan reaktif. Tapi, sikap serupa tak nampak, ketika Bareskrim masih dibawah Jenderal Buwas mengusut kasus 'payment gateway' yang menyeret mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Atau ketika Bareskrim menetapkan status tersangka kepada Abraham Samad dan Bambang Widjajanto, dua pimpinan KPK, dalam dua kasus berbeda, pemalsuan dokumen dan saksi palsu. Kalla dalam setiap pernyataannya 'terkesan' membela langkah kepolisian, bahwa yang dilakukan Bareskrim bukan kriminalisasi. Tapi, berbeda saat menyikapi kasus Pelindo. Entahlah, kenapa berbeda sikap.

Namun yang pasti, usai penggeledahan, kemudian setelah itu mencuat cerita tentang kemarahan RJ Lino yang 'mengancam' Presiden, dirinya akan mundur bila Bareskrim ngotot mengusut Pelindo, isu pencopotan Jenderal Buwas tiba-tiba menggelinding. Terlebih setelah itu, cerita-cerita lain muncul melengkapi drama pencopotan Jenderal Buwas, misalnya pengakuan Menteri BUMN Rini Soemarno yang langsung menelpon Kapolri. Dan, pengakuan Sofyan Djalil, yang tak menampik dirinya memang melakukan kontak telepon dengan Lino. Bahkan, kemudian muncul pengakuan Jusuf Kalla, bahwa ia langsung menelpon langsung Jenderal Buwas dari Korea. Pengakuan ini pun terkonfirmasi dengan pernyataan blak-blakan sang jenderal, seperti yang saya baca dalam berita yang dimuat oleh jpnn.com.

Rangkaian-rangkaian cerita inilah yang kemudian oleh sebagian orang, terutama para pengamat dijadikan bahan analisa. Para pengamat pun menyimpulkan, dengan mencermati rangkaian kisah yang terjadi sampai akhirnya Jenderal Buwas di copot dari Kabareskrim, ada semacam benang merah yang saling kait mengkait, bahwa sang jenderal memang tengah disingkirkan.

Semoga, analisa itu keliru. Karena tak baik jika call of duty yang selalu di dengungkan sebagai hal biasa dalam sebuah organisasi, sarat dengan kisah tekan menekan. Artinya itu sama saja call of duty yang dialami Jenderal Buwas, bukan sebuah rotasi biasa. Tapi, sebuah rotasi yang tak biasa. Semoga itu keliru.

Yang pasti sekarang Jenderal Buwas sudah berganti posisi. Dia sebentar lagi tak akan jadi Kabareskrim. Ia akan dapat tugas baru sebagai Kepala BNN yang bertanggungjawab langsung ke Presiden. Harapan publik, kasus-kasus yang sudah diusut Jenderal Buwas, tak dipeti es-kan. Kasus itu harus dituntaskan. Dan dibuka di pengadilan, sehingga semua jelas, apakah langkah Jenderal Buwas selama ini keliru atau tidak. Bila ada yang terbukti bersalah, tentu harus ditindak. Tak boleh dibiarkan.

Saya sendiri terus terang pada Pilpres 2014, mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kenapa saya lebih memilih Jokowi-Jusuf Kalla, ketimbang duet Prabowo-Hatta, salah satu alasannya karena sosok Kalla. Selain, karena sosok Jokowi sendiri. Sepakterjang Kalla saat menjadi Wapres pendamping SBY, jadi poin plus bagi saya dalam menilai sosok saudagar Bugis tersebut. Pun, gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Kalla ketika jadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), membuat kekaguman saya bertambah.

Tapi, setelah membaca berita di jpnn.com, serta gosip dan kabar burung, kekaguman saya terhadap Pak Kalla, menguap. Bagi saya yang awam, ketika ada seseorang petinggi minta aparat penegakan hukum menghentikan kasus, itu adalah intervensi. Entah, jika menurut pakar hukum tata negara. Apa boleh seorang Wapres minta Kabareskrim hentikan kasus, baiknya itu Pak Jimly Asshiddiqie yang menjawabnya. Sekali lagi, mudah-mudahan saya yang keliru. Sehingga rasa kagum yang meruap bisa kembali lagi. Tapi bila tidak, biarlah ini jadi pelajaran, mungkin saya salah mengagumi orang. Nuwun sewu Pak, jika saya sebagai rakyat kecil lancang mempertanyakan bapak. Tak ada maksud apa-apa, selain saya hanya ingin, pemimpin saya benar-benar sesuai amanahnya. Dan tak menyalahgunakan mandat yang dipercayakan rakyat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun