Menurutnya, keluhan presiden itu, hanya mengkonfirmasikan bahwa antara kepala pemerintahan dengan pembantunya belum ada keterbukaan.
" Ini kan menunjukan tak adanya keterbukaan. Serta sistem komunikasi yang jelas antara presiden dengan pembantunya. Harusnya kan terbuka kepada presiden. Maupun ke menteri lain atau pejabat lain," kata Eko Harry.
Tapi, kata dia, presiden juga harus menciptakan sebuah sistem komunikasi untuk semua saluran. Baik kepada seluruh menteri dan lembaga pemerintahan lainnya.
" Menteri juga harus menjunjung tinggi tugas negara dan sejalan dengan tanggung jawabnya. Kalau ada info penting, langsung sampaikan ke presiden, jangan dikemas dulu, demi kepentingan kelompoknya," katanya.
Ketika kemudian dikeluhkan komunikasi macet, dan yang mengeluhkan itu adalah presiden, kata dia, menunjukan antara kepala pemerintahan dengan pembantunya belum satu irama. Bisa jadi itu hanya mengkonfirmasi kinerja menteri tidak total.
" Serta tak sensitif terhadap kepentingan informasi yang terkait dengan masalah negara dan rakyatnya dalam lingkup tugasnya," katanya.
Hal itu juga,menunjukan, pejabat pemerintah belum mempunyai loyalitas kepada negara secara penuh. Budaya asal bapak senang masih begitu kuat menjerat.
" Pejabat kan loyalitasnya berpihak kepada kepentingan rakyat. Bukan kepada kelompok politik yang mendukung pejabat," katanya.
Solusinya, segera pangkas birokratisasi informasi. Bangun sistem komunikasi yang jelas, cepat dan tidak birokratis. Sehingga yang perlu segera diketahui presiden atau publik, bisa secepatnya disampaikan.
" Harus diakui, saat ini alur komunikasi jelas terlalu birokratis," katanya.
Pendapat tak jauh beda diungkapkan, Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani. Menurut Andi, buruknya alur komunikasi pemerintahan, problemnya terletak pada sistem komunikasi antar pemimpin dan khususnya di istana.