Hasil rapat di Cikeas, tempat kediaman Presiden SBY berada, memutuskan PKS dikeluarkan dari barisan koalisi. Setidaknya itu yang bisa dibaca dari pernyataan Sekretaris Sekretariat Gabungan Koalisi, Syarif Hasan yang menyatakan koalisi dengan PKS sudah berakhir. Setgab, demikian Sekretaris Gabungan biasa disingkat, adalah forum komunikasi partai-partai pendukung pemerintah.
Ketua Setgab, adalah SBY. Sementara ketua hariannya Aburizal Bakrie, atau kerap disapa Ical, Ketua Umum Partai Golkar. Dan Syarif Hasan, Menteri Koperasi itu sebagai sekretarisnya. Syarif adalah politisi Partai Demokrat.
PKS sendiri adalah salah satu partai pendukung pemerintah. Partai pendukung lainnya, adalah Partai Demokrat, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Dalam rapat yang dihadiri para ketua umum partai, PKS memang tak di undang. Presiden PKS, Luthfi Hassan seperti diberitakan tak terlihat hadir di Cikeas.
Sebelum rapat di gelar, situasi politik memang memanas. Rencana pemerintah menaikan BBM memantik demonstrasi dimana-mana, bahkan di beberapa daerah terjadi bentrok. Pemerintah sendiri berharap partai-partai pendukungnya bisa mendukung dan menggolkan rencana menaikan BBM di parlemen. Tapi apa lacur, rapat paripurna yang berlangsung sampai masuk dini hari, menghasilkan keputusan kenaikan BBM di tunda. Sebelum di putus memang ada dua arus besar menyikapi rencana pemerintah. Satu arus, menolak. Mereka yang menolak awalnya hanya PDI-P, Gerindra dan Hanura, tiga partai di luar barisan koalisi pemerintah. Satu arus lagi menerima, mereka kebanyakan partai pendukung pemerintah.
Namun yang menarik, PKS sebagai partai pendukung pemerintah bersikap berbeda dengan pemerintah. Partai kader itu justru menolak kenaikan BBM. Bahkan sempat mengirimkan surat pada presiden menjelaskan sikap politiknya.
Dan, sampai paripurna, sikap PKS tak berubah, tetap menolak rencana kebijakan pemerintah tentang harga BBM. Tak pelak sikap PKS itu menuai reaksi keras dari elit Demokrat, partai terbesar dalam koalisi, juga sekaligus partainya SBY. PKS, dianggap melanggar kontrak koalisi, dan diminta keluar dari barisan pendukung pemerintah.
Tapi PKS bergeming tetap pada sikapnya. Dan usai rapat paripurna, kekesalan pada PKS tak juga mereda. Puncaknya di Cikeas, petinggi PKS tak diundang hadir dalam rapat para petinggi partai pendukung pemerintah. Sampai kemudian, keluar dari mulut Syarif Hasan, hubungan koalisi dengan PKS sudah berakhir.
Namun, sampai hari ini, SBY sendiri sebagai presiden dan ketua koalisi belum mengeluarkan sebaris pernyataan pun yang menguatkan pernyataan Syarif Hasan. Bahkan, belum ada keputusan, apakah dua menteri dari PKS akan ikut dikeluarkan dari kabinet. Makin rumit, PKS sendiri bersikukuh, selama kata dikeluarkan belum terucap dari SBY, partai kader itu masih menganggap sebagai bagian dari keluarga besar koalisi. Meski santer diberitakan, menteri-menteri dari PKS kini tak lagi di ajak rapat kabinet.
Pada saya, saat mengobrol via blackberry messenger, Gun Gun Heryanto, analis politik dari Universitas Paramadina, mengatakan, SBY sebagai dirijen koalisi terlihat gamang dan seperti dibelit sebuah dilema.
Mestinya, kata Gun Gun, sebagai konduktor koalisi pendukung pemerintah, SBY jangan terus memperlihatkan sikap yang mengambang. Harus ada sikap yang jelas, gamblang dan tegas dari SBY.
Memang, setiap pilihan pasti ada resikonya. Tapi mengambangkan situasi jelas bukan pilihan yang tepat. Justru, kata Gun Gun, itu akan menimbulkan masalah baru, dimana publik akan mempertanyakan leadership dari seorang SBY.
" Sikap mengambang juga akan melahirkan 'turbulensi' di tubuh Setgab itu sendiri," katanya.
Andai saja SBY tegas, terlepas ia akan melepas PKS atau tetap mempertahankannya, setidaknya dengan itu publik bisa mendapatkan kejelasan dari pemimpinnya.
" Tak ada pilihan yang tak memiliki resiko. SBY sudah seharusnya jangan membuat proses ini berlarut-larut," kata Gun Gun.
Ia coba menganalisa, masih belum jelasnya sikap SBY, apakah akan mengeluarkan PKS atau tidak, salah satu faktornya adalah SBY masih pertimbangkan perimbangan kekuatan di internal mitra koalisinya. Karena dengan hilangnya PKS, Golkar yang kian kuat daya tawarnya. Dan bisa jadi Demokrat dan SBY akan memiliki ketergantungan pada Golkar terutama di momentum-momentum politik kritis di DPR.
Hitung-hitungan politiknya, PKS dengan pengusaan 57 kursi di DPR, memiliki kekuatan 10,18 persen dalam koalisi. Padahal, dengan melepas PKS, kekuatan partai pendukung pemerintah sebenarnya masih mumpuni.
" Yakni masih menguasai kekuatan di parlemen dikisaran 68 persen suara di DPR," kata dia.
Meski PKS sudah sejak lama banyak berbeda dengan kebijakannya, sepertinya, SBY masih mempertimbangkan perimbangan kekuatan di tubuh Setgab sendiri. Karena dengan mengeluarkan PKS dari koalisi, praktis Demokrat dan SBY akan memiliki ketergantungan lebih pada Golkar.
" Kita tahu Golkar punya 106 kursi (18,93 persen) sehingga posisi 'bergaining position' Golkar akan meningkat di momentum-momentum politik krusial di kemudian hari," kata Gun Gun.
Dan tak ada jaminan Golkar akan patuh dan taat pada SBY dikemudian hari. Mungkin karena itu SBY masih ragu apakah serius bakal menendang PKS keluar koalisi. Hanya saja, sekarang semua menjadi sulit, karena jika PKS tak diberi sanksi oleh SBY maka mitra koalisi lainnya akan mempertanyakan itu.
" Bahkan bisa bersikap keras," kata dia.
SBY juga, kata Gun Gun pasti memikirkan, andai PKS keluar dan menjadi oposisi, maka kekuatan di luar kubu pendukung pemerintah bertambah amunisi politiknya. Maka, oposisi tak lagi sebatas PDI-P, Hanura, atau Gerindra, tapi ditambah PKS
" Itu juga yang dipikirkan SBY, pilihan itu menjadi dilematis buat SBY karena jika PKS tak dikeluarkan akan jadi preseden buruk bagi mitra koalisi lain karena PKS melanggar kontrak politik yang sudah diperbaharui, tetapi di sisi lain juga SBY berhitung resiko politik jika PKS benar-benar dikeluarkan," urainya.
Tapi disisi lain, salah satu resiko politiknya bila PKS dikeluarkan, adalah semakin kuatnya posisi Golkar di Setgab. Golkar akan sangat diuntungkan dengan keluarnya PKS. Padahal Golkar itu, jauh lebih pragmatis dan lihai, karena punya pengalaman dalam proses-proses loby dan negosiasi.
" Terlebih jika peta kekuataan memosisikan Golkar sebagai penentu utama semua memomentum krusial bagi SBY dan Demokrat ke depan," ucapnya.
Dan, kata Gun Gun tak ada jaminan pula Golkar akan loyal dan setia pada kontrak koalisi. Terlebih dengan banyaknya agenda menjelang Pemilu 2014. Dimana, akan parpol-parpol akan semakin mencari legitimasi, sekaligus melakukan delegitimasi parpol-parpol lain yang jadi pesaingnya. Gun Gun yakin, kegaduhan politik di tubuh koalisi akan terus terjadi.
Mengenai Setgab sendiri Gun Gun menilai, forum itu tak efektif sebagai forum penyamaan persepsi antar partai koalisi. Jejak rekam sejak Setgab di bentuk, setidaknya memperlihatkan forum itu tak efektif untuk menyatukan suara partai pendukung pemerintah. Tidak efektifnya Setgab, kata dia, di sebabkan partai-partai mitra koalisi terlalu dominan membawa agenda politiknya masing-masing. Dan cenderung mengambil keuntungan sendiri-sendiri yang acapkali bertentangan dengan komitmen di dalam kontrak politik.
" Terlebih, saat Setgab menjadi bagian dari buka tutup kasus masing-masing partai, sehingga Setgab tak lagi menjadi koridor penyamaan persepsi," katanya.
Sementara itu, Analis Politik dari Indonesian Institute, Cecep Effendi, yang juga saya wawancarai via blackberry messenger, berpendapat, koalisi dalam sistem pemerintahan presidential bukanlah koalisi sebagaimana dalam sistem parlementer. Kebijakan pemerintah dalam sistem presidential tidak dibangun dan menjadi program bersama dan di kampanyekan bersama pada masa pemilu.
" Dalam sistem parlementer koalisi dibangun dan disepakati dan mengikat bersama diantara partai pemerintah. Masing-masing partai takut kehilangan majoritas dan kalah suara di parlemen dan pemerintah bisa bubar dan pemilu ulang," kata dia.
Karena itu, kata Cecep, koalisi di parlementer solid dan kompak. Sementara koalisi partai dalam sistem presidential adalah kepentingan untuk mengisi anggota kabinet semata. Karena itu rentan konflik.
" Apalagi tidak ada program bersama karena partai anggota koalisi sebelumnya adalah rival dalam pemilu," katanya.
Di Indonesia, kata Cecep, partai politik umumnya opportunistik, terutama ketika mereka melihat reaksi publik, lalu merasa takut kehilangan popularitas. Maka manuver pun dilakukan dengan pertimbangan kepentingan di 2014.
" Mereka menunjukkan karakteristik opportunistiknya. Jadi tak ada sistem presidential dengan multi partai. Tak ada cara lain jumlah partai harus disederhanakan," katanya.
Program pun, kata dia, harus dibuat bersama dan mengikat dan menjadi janji bersama pada masa Pemilu. Partai yang melanggar keluarkan dari koalisi. " Ketegasan dalam hal ini yang dibutuhkan," ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H