Minggu ini, salah satu tema pemberitaan yang ramai dan hangat adalah informasi tetang ditetapkannya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafiz Ansyari sebagai tersangka. Meski informasi itu masih simpang siur, dimana pihak Polri dan Kejaksaan Agung saling bersebrangan pernyataan, namun informasi Hafiz telah menjadi tersangka cukup menyentak perhatian publik.
Bagaimana tidak, sebelum berita Hafiz muncul, nama KPU juga diseret-seret, dalam kisah dugaan surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK), dimana nama Andi Nurpati, mantan komisioner di lembaga itu disebut-sebut memiliki andil. Andi kini, menjadi pengurus teras di Partai Demokrat.
Kini, belum juga tuntas kasus surat palsu MK, mencuat lagi kasus Hafiz menjadi tersangka. Sepertinya, KPU tak pernah lepas dirundung masalah, setelah banyak menuai kritikan karena dianggap tak becus menggelar pemilu pada 2009, sekarang satu persatu komisionernya dililit masalah.
Saya sendiri, ketika hajatan pemilu 2009 akan digelar, nyaris tiap hari meliput dinamika yang terjadi di kantor komisi pemilihan itu, yang terletak di Jalan Dipanegoro, Jakarta Pusat tersebut. Kebetulan tempat saya bekerja, sebuah media cetak yang terbit di Jakarta, menugaskan saya meliput disana. Dan yang selalu diburu untuk dimintai keterangan atau penjelasan, adalah Abdul Hafiz Ansyari, yang menjadi Ketua di KPU.
Tiap habis solat Jumat, bila ada di kantor, Hafiz selalu mengundang para wartawan untuk berbincang santai di ruang kerjanya yang nyaman. Sambil makan kue kering yang selalu terhidang di meja ruang kerjanya, Hafiz banyak menjelaskan tentang segala tetek bengek persiapan dan tahapan penyelenggaraan pemilu 2009.
Ada satu kisah yang paling tercatat dibenak, adalah ketika Hafiz, menceritakan pernah kehilangan sandal di Mesjid KPU yang terletak di bawah gedung komisi pemilihan tersebut. Saat itu, ia menunaikan solat Jumat, dimana di mesjid itu pula, ia kerap kali jadi pengkhutbah. Maklum ia seorang guru besar peradaban Islam, sebelum menjadi Ketua KPU, di sebuah universitas di Kalimantan.
Hafiz saat itu menceritakan kasus sandal hilang itu sambil tak lepas mengumbar senyum. Mungkin ia merasa lucu, hilang sandal di mesjid lembaga yang ia pimpin. Tapi kini, pria paruh baya yang selalu tak lepas dari pecinya itu kembali dirundung masalah.
Tapi bukan soal ia kembali kehilangan sandal. Tapi masalah yang dihadapinya lebih berat, bisa-bisa ia terancam kehilangan yang lebih berat lagi, kehilangan jabatan sebagai Ketua KPU, sebuah jabatan prestisius selevel dengan menteri.
Masalah yang melilitnya sekarang adalah, diterimanya informasi bahwa dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan surat dan pemberian keterangan palsu. Yang melaporkan adalah Muhammad Syukur Mandar, salah seorang calon anggota legislatif dari Partai Hanura ke Mabes Polri.
Tak pelak, ia merasa seperti disambar geledek, begitu staf, dan ia sendiri membaca pemberitaan dari media, bahwa dirinya sudah menjadi tersangka. Sebuah status hukum yang bisa mengancam karirnya di KPU sebelum habis masa jabatannya, dan tentu bakal mencoreng nama baiknya.
” Tentu saja, merugikan dan kami sangat terkejut. Tiba-tiba status sudah tersangka, sementara saya belum pernah, ya, paling tidak diklarifikasi, sampai kemarin kan belum pernah,” urainya dengan wajah tegang, saat ia menggelar jumpa pers di kantornya, kemarin.
Tentu saja dia kaget bak disambar petir, tiba-tiba diberitakan sudah berstatus tersangka. Padahal dia sendiri belum pernah merasa diperiksa atas kasus tersebut. Ia sendiri heran, kenapa kasus itu kembali mencuat, padahal Mahkamah Konstitusi sendiri sudah memutuskan tak ada yang salah dalam penetapan caleg terpilih di Dapil Halmahera.
" Kasus kan itu sudah di putus oleh MK melalui putusannya Nomor 84/PHPU.C-VII/2009 pada 22 Juni 2009. Dan KPU sudah sesuai aturan. Kalau ada yang salah kan terbongkar saat sidang di MK 2009 lalu," kata dia.
Sebelumnya, Bareskrim Mabes Polri mengirimkan surat bernomor B/81-DP/VII/2011/Dit.Tipidum tertanggal 27 Juli 2011 ke Kejaksaan Agung. Surat tersebut perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan atas nama tersangka Porf. DR. H.A. Hafiz Anshary AZ., MA., dkk. Berdasarkan laporan yang disampaikan Muhammad Syukur Mandar. Surat ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol. Agung Sabar Santoso.
Hafiz pernah bercerita kehilangan sandalnya. Apakah kasus Halmahera juga akan membuat ia kehilangan jabatannya sebagai Ketua KPU? Belum dipastikan memang, karena proses hukum sedang berjalan, dan Hafiz menegaskan ia akan menghormatinya.
Karena bila kemudian statusnya ditingkatkan menjadi terdakwa, maka itu adalah mimpi buruk bagi Hafiz. Bukan hanya itu mencoreng nama baiknya, tapi juga ia terancam kehilangan jabatannya. Sebab lazimnya, bila ada pejabat yang sudah di tetapkan sebagai terdakwa, maka ia akan dinon aktifkan sementara dari jabatannya.
Tapi ancaman bakal kehilangan jabatannya, sepertinya sedikit sirna. Sebab keluar bantahan sangat lucu dari Mabes Polri, tentang status tersangka Hafiz Ansyari. Pihak Mabes Polri, lewat Pejabat Humasnya, Brigjen Pol Untung Yoga, mengakui, bila ada salah ketik dalam kasus ditetapkannya tersangka Ketua KPU, Abdul Hafiz Ansyary.
Saya baca itu di pemberitaan media-media online, Rabu (12/10). Setelah membaca itu, saya merasa alasan yang di ungkap oleh pejabat Polri, terasa lucu. Bak sebuah pertunjukan lawakan, salah ketik membuat nama seseorang kadung tercoreng. Apa ada cerita lain di balik kisah 'salah ketik' itu saya tak tahu.
Tapi pengakuan salah ketik itulah yang membuat saya berpikir betapa begitu tak beresnya negeri ini di urus. Bayangkan, institusi sekelas Polri, bila salah ketik dan itu menyangkut kasus seorang pejabat negara.
Jelas Hafiz sendiri ketika diberitakan dia sudah di tetapkan sebagai tersangka, kagetnya bukan main. Belum pernah diperiksa, tiba-tiba jadi tersangka. Baginya itu sebuah petaka. Bak disambar petir di siang bolong.
Saya sendiri tak tahu akan seperti apa ujung dari kisah salah ketik itu. Apakah Hafiz akan menggugat balik Polri, yang sangat ceroboh salah mengetik status hukum dirinya. Harusnya Hafiz berani, karena ia telah di dzolimi oleh kecerobohan itu.
Namun bagi saya, kasus salah ketik itu, semakin membuat saya kian tak optimis, aparat penegak hukum itu bekerja serius menegakan hukum. Karena proses penegakan hukum dilaksanakan semau dewek.
Pada pejabat negara saja sudah seperti itu, bagaimana pada rakyat yang tak punya label status seperti Hafiz. Terlalu menggelikan. Dan komedia dunia hukum yang tak enak ditonton.
Ah, kasihan Hafiz, terlepas dia salah atau benar, tapi pengakuan salah ketik itu, sepertinya begitu tak masuk akal. Kasihan Hafiz, kasihan Indonesiaku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H