Kata Arif, bila saja persoalan utang BLBI bisa dituntaskan, negara masih memiliki pundi devisa yang signifikan. Belum lagi ditambah dana subsidi. Pada akhirnya political will yang diharapkan muncul dari pemangku kebijakan, agar negara tak hanya pintar menarik subsidi, tapi juga pintar mencari solusi, agar APBN tak terus bolong-bolong.
Kata Arif, idealnya, ketika orang pintar (negara) tarik subsidi, harus pintar pula cari solusi. Agar subsidi yang dicabut, tak mencabut pula daya tahan masyarakat.
" Pintar cabut subsidi, harusnya pintar juga cari solusinya," kata dia.
Andai BBM naik, kantong negara kembali di isi duit subsidi. Maka, alihkan dana itu untuk rakyat. Pakai anggaran subsidi yang benar-benar dirasakan rakyat.
" Pendidikan gratis, kesehatan gratis, infrastruktur jalan dan jembatan. Saya kira itu program solutif jangka panjang membangun daya tahan rakyat,"katanya.
Jangan kemudian, dana subsidi dipakai untuk program yang hanya membuat rakyat menarik nafas panjang. Misalnya BLT, kata dia, hanya program yang tarikan nafasnya hanya pendek saja. Selain rawan penyelewengan dan mudah di politisasi, BLT juga bisa dikatakan hanya obat untuk meninaka bobokan rakyat, agar lupa sejenak terhadap dampak naiknya BBM.
" Ya itu kalau kata Iwan Fals, orang pintar tarik subsidi, ya pintar pulalah cari solusinya. Biar bayi tak kurang gizi, " katanya.
Sementara Pri Agung Rakhmanto, Direktur Reforminer Institute, mengatakan argumen klasik yang terus dilontarkan pemerintah setiap kenaikan BBM tak pernah beranjak. Dari kenaikan BBM pada 2005 sampai 2008, argumennya harga minya dunia yang melampui asumsi harga minyak di APBN, akan menghasilkan defisit anggaran. " Selalu begitu," katanya.
Padahal publik tahu, APBN juga sering bocor. Dan defisit tak semata salah asumsi harga minyak. Andai APBN tak bocor, rakyat mungkin masih menerima rencana kenaikan. Selain tak pernah jelasnya solusi jangka panjang bila subsidi energi ditarik.
Pri Agung pun menyebut soal program energi alternatif. Misalnya bioetanol yang tak jelas kelanjutannya. Padahal di negara lain, ketika energi minyak kian menipis, program energi alternatif yang digenjot. Indonesia pernah melansir program bioetanol, bahkan itu di mulai pada pada 2005, regulasi pendukung pun sudah dikeluarkan, tapi perkembangannya hingga kini tak kelihatan jelas.
Thomas L Friedman, pemenang Pulitzer for International Reporting pada 1982 dan juga wartawan sekaligus kolumnis terkemuka koran New York Times, dalam bukunya, " Hot, Flat, and Crowded," menuturkan tentang pentingnya memotong ketergantungan akan energi fosil seperti minyak. Serta pentingnya sebuah negara melahirkan solusi energi pengganti.