Kalau ingat reformasi, saya teringat satu penggal dialog dalam film remaja di negeri ini, “Ada Apa Dengan Cinta”. Dalam dialog film tersebut, Cinta tokoh yang diperankan oleh bintang remaja Dian Sastrowardoyo bertanya, atau dalam bahasa saya, pertanyaan yang mengandung rasa heran dan tidak percaya kepada Yos Rizal, bapaknya Rangga (Nicholas Saputra).
“Bukankah sekarang sudah reformasi,Om?”
“Reformasi apanya, Cinta?”
Jawaban yang dilontarkan oleh Yos Rizal (Bapaknya Rangga) ada benarnya, bahkan terasa menohok. Sudah lewat jauh dari 21 Mei 1998 yang dianggap tonggak gerakan reformasi. Sudah berganti pula beberapa presiden, bahkan yang menarik dari berbagai latar asal. Ada yang teknorat yang naik pangkat dari wapres ke presiden mengganti sang Jenderal besar yang bercokol kelewat lama. Ada dari kalangan santri atau kaum sarungan. Ada pula dari anak mantan presiden dan sekarang kembali ke Jenderal atau mantan Jenderal.
Lalu bagaimanakah nasib reformasi itu sendiri? Kalau meminjam pribahasa, saya lebih cenderung pilih; jauh panggang dari api (menurut saya loh). Artinya jauh harapan dari kenyataan. Kenapa begitu? Entahlah....
Karena yang terjadi bukan hasil reformasi. Gaung ganyang KKN yang bergema kini hanya sebatas slogan dan bunyi spanduk-spanduk dipinggir jalan. Selebihnya, hasil yang dinikmati bukan reformasi atau perubahan yang bikin harapan terus tumbuh tapi malah repot nasi alias hidup makin susah. Kalau meminjam perkataan orang betawi, repotnye-masih dah, malah kebangetan. Indikatornya, pengangguran terus meningkat dibarengi jumlah rakyat miskin yang terus bertambah. Korupsi makin menjadi, bahkan setelah daerah diberi otonomi. Dipusat ada kenduri korupsi di daerah juga samimawon alias sama saja.
Mestinya rakyat sudah bisa bernafas lega, setelah “biang korupsi”, bisa diturunkan. Seharusnya rakyat bisa menikmati pembangunan setelah otonomi digulirkan. Tapi kok, maling tidak habis-habisnya, mati tumbuh seribu. Ternyata benar kekuasaan adalah syahwat, sekali tersingkap aurat, yang memangkut kekuasaan terkesiap lalu tergoda untuk mencicipi. Ada maling uang anggaran pembangunan atas nama peningkatan kinerja, uang duka, uang laptop, studi banding, dll.
Ada maling lewat peraturan, lalu membabat hutan dan merusak lingkungan. Lebih keblinger-nya lagi mereka (para maling) selalu berkilah semua atas nama rakyat. Padahal hanyalah untuk membuat diri sendiri bergelambir penuh lemak dosa dan membagi-bagikannya pada anak-mantu, kemenakan dan kolega. Parah kan?!
Sedangkan rakyat cukup dijadikan stempel atau diberi janji saja. Sungguh aneh memang di negeri yang katanya “tongkat saja jadi tanaman”, para petani malah makin miskin. Sungguh miris memang, negeri yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa, sebentar lagi tidak ada nyiur yang melambai sampai jauh. Hutan dijarah habis. Sungai dan laut dicemari. Ada apa sebenarnya dengan reformasi, kok hasilnya malah rekor korupsi?.
Maka saat Pak Amien Rais, kebetulan beliau dijuluki Bapak Reformasi, mengaku menerima aliran dana non budgeter DKP, saat pilpres 2004. Pak Amien menurut saya salah terima sumbangan yang tak semestinya. Tapi lumayan mau “mengaku”. Nah, kemauan mengaku itu yang makin susah sekarang.
Pengakuan Pak Amien memang sangat terlambat tapi daripada tidak sama sekali, keberanian “mengakui” cukup menghiburlah, terlepas dari motif politik yang mungkin saja ada dibelakang pengakuan itu. Soal motif, itu urusan Pak Amien dengan Tuhan. Tetapi sekali lagi, saya lumayan senang dengan keberanian itu. Berlaku jujur dinegeri yang penuh “kongkalingkong” sungguh sudah jadi barang mahal. Apalagi mengaku salah.
Coba yang lain juga mengaku, karena yang nyalon presiden juga bukan Pak Amien saja, dan kata Pak Amien yang lain juga terima. Tapi tak ada yang ikuti jejak Pak Amien. Justru para ‘maling, bahkan yang telah masuk bui pun terus berusaha mengeluarkan beratus-ratus jurus berkelit. Tapi memang, siapa juga yang nyaman di bui, apalagi para pejabat yang kadung merasa nyaman dan dihormati. Nama besar dan kehormatan pastinya turun kelas, bahkan jauh lebihnista dari pada maling sendal jepit dan jemuran. Rasa malu bisa ditanggung sepanjang hayat sejarah (kalau punya rasa malu itu juga).
Dan, bukankah banyak “sample”, ketika orang-orang yang tadinya terhormat atas nama jabatan tiba-tiba terserang stroke atau jantung saat diperiksa berkenaan kasus korupsinya. Banyak yang tiba-tiba mengaku sakit berat.Namun tidak ada yang terus tiba-tiba mengaku sakit panu, kudisan atau pegal linu..he..he...he...
Ya pantas sajalah, karena tiga penyakit rakyat itu cukup diolesin salep atau dipijit tak perlu berobat ke Singapura. Tapi jika mengaku stroke atau jantung itu bisa jadi alasan penyakitnya mesti diobati di rumah sakit di luar negeri. Berobat sekalian merancang strategi melarikan diri dan sekaligus menyembunyikan duit korupsi.
Lumayan salut buat Pak Amien. Pengakuannya cukup menghibur, entah beberapa kadar hasilnya. Karena yang pasti budaya jujur atau keberanian mengakui atas kesalahan sepertinya sulit tumbuh di negeri ini. Negeri ini terlanjur penuh dengan budaya pura-pura dan tipu daya.
Maka, akan lebih terdengar dan terasa indah bila kemudian terucap; “Karena saya banyak salah, saya tahu diri untuk tidak mencalonkan menjadi pemimpin dikemudian hari”.
Entah siapa yang ucapkan itu. Tapi rasanya yang banyak di catat di negeri ini elit lebih memilih untuk berkelit, kendati kesalahan sudah diungkap di mana-mana. Dan dengan gampangnya, merekatinggal ngomong, “Kita harus menghormati asas praduga tidak bersalah, biar pengadilan yang membuktikannya”.
Repotnya, pengadilan disini, semua juga tahu sama tahu, wajahnya seperti apa mau reformasi, malah repotnasi..Nasib...nasib...nasib...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H