Indonesia, dan Jepang memiliki kemiripan sebagai negara langganan guncangan gempa. Bahkan kedua negara, sama-sama pernah merasakan tragedi pahit gelombang tsunami besar yang diakibatkan oleh gempa. Tsunami Aceh tentu yang paling fenomenal, dimana gelombang laut yang datang nyaris meluluhlantakan bumi Serambi Mekah. Jepang pun sama, tsunami besar pernah meluluhlantakan sebagian kota-kota di negeri matahari terbit tersebut.
Tsunami menerjang Jepang pada 11 Maret 2011. Dan hari ini tepat setahun peringatan terjadinya tsunami di negeri matahari terbit itu. Kala itu gempa mengguncang dengan kekuatan 9 skala richter, dengan pusat gempa di kedalaman 24,4 kilometer, sebelah pantai timur Sendai.
Gempa mengguncang tengah hari, dan dua jam berikutnya gelombang laut dengan tinggi hampir mencapai 40 meteran
datang menerjang daratan. Jepang pun luluh lantak. Kabar duka menyeruak dimana-mana. Sebanyak 15.769 orang meninggal, 4.227 orang hilang, dan 470.000 orang mengungsi.
Total kerugian ekonomi US$ 220 miliar setara 3,4% dari Gross Domestic Bruto (GDP) Jepang. Atau setara hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Kerugian yang luar biasa besar.
Satu hal yang perlu di catat, Jepang dengan kemampuan ekonomi dan teknologinya, merupakan negara yang siap menghadapi gempa dan tsunami. Ragam upaya stuktural dan non struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana.
" Peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 M," kata Kepala Bidang Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Kata Sutopo, sebelum diterjang tsunami, di Pantai Sendai telah dilindungi berbagai bentuk perlindungan tsunami mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini. Bahkan, di Kota Kamaishi dibangun pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter selama 31 tahun. Harapannya, terjangan tsunami bisa dikurangi hingga 0%.
" Tapi ternyata tsunami tetap terjadi," katanya.
Jepang jelas menaruh perhatian serius terhadap dampak bencana, karena negeri itu adalah negeri langganan gempa. Tsunami adalah momok bencana yang terus mengintai, maka tak heran bila pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan digenjot habis-habisan sebagai program nasional dan dilakukan secara besar-besaran.
Sutopo ambil contoh, soal ketahanan bangunan. Di Jepang, retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai 79%, sekolah 73%, dan rumah sakit 56% dari jumlah nasional. Bagaimana dengan Indonesia?
Sutopo hanya menarik nafas berat. Di tanah air, persoalan mitigasi masih belum menjadi fokus utama. Karena ia mencatat, sekitar 70% sekolah berada di daerah rawan gempa. Lebih ironisnya struktur bangunan rawan terhadap bencana. Perlu ada sebuah cara agar dampak bencana seperti gempa bisa dikurangi. Setidaknya, kata Sutopo, negeri ini bisa menarik pelajaran berharga dari Jepang. Negeri yang canggih dan paling siap menghadapi bencana pun ternyata kadang tak berdaya ketika bencana datang. Tsunami 2011, di Jepang adalah salah satunya.