Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Ruang Hidup yang Sejajar

9 Maret 2012   14:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang  keamanan perlu apalagi hidup di kota dengan tingkat kriminalitas yang tinggi seperti Jakarta, tapi hendaknya itu tidak dibarengi dengan perilaku yang angkuh pula, penuh kecurigaan, penuh kalkulasi berdasar untung rugi. Apalagi bila perilaku itu berdasar pertimbangan status sosial tertentu.

Idealnya ruang hidup, rumah sosial kita dibangun untuk menumbuh sehatkan ruang keramaian. Bukan ruang klaim, apalagi sepihak, melainkan ruang yang bisa membebaskan kita dari sekat. Membebaskan kita dari berhala hidup.

Ruang sosial kita haruslah bisa memberi jangkar bagi relasi yang berbasiskan kemanusiaan. Ruang yang bersipat jamaah, bukan ruang individual yang angkuh. Setiap individu harus merasa menjadi bagian dari jamaah keramaian. Jadikan pencapaian karir dan status, tak semata simbol, tapi harus bisa dijadikan sebagai pabrik dari kerja sejarah yang mencakup semuanya.

Artinya, sebuah ruang hidup haruslah memberi kesetimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang duniawi dan ukhrowi. Dengan itu setidaknya yang satu akan selalu merasa menjadi bagian dari pada yang lainnya, dan pada akhirnya kembali jumlahnya hanya satu juga. Satu dari sebuah jamaah besar. Bukankah jamaah hakikatnya ragam warna dalam sebuah ikatan kemanusiaan yang sadar akan peran dan fungsinya yang saling melengkapi.

Itulah yang disebut semangat ibadah diranah sosial. Ranah keramaian. Bukankah yang ideal sebuah ruang hidup harus adalah tempat menjaring obrolan yang bisa dipungut maknanya dan itu terwujud bila tidak dilakukan atas dasar dikte atau pendiktean.

Setidaknya kalau ada obrolan, rumah dunia kita bisa dibuka jendelanya, agar ada banyak hal yang bisa di raup. Mungkin dari situ kita bisa tersenyum wajar. Dan  esok pagi  kita mengingatnya dengan riang sembari mereguk secangkir kopi susu dan setungkup roti bakar plus rindu akan ruang obrolan itu kembali.

Karena hidup idealnya  tersedia beranda yang terbuka pada tamu tanpa pembedaan yang primordialistik. Ada jendela yang terkuak lebar, punya pekarangan yang ramah dan tidak berpagar tinggi apalagi dilengkapi dengan gembok penuh kecurigaan.

Seharusnya hidup adalah berawal dari sebuah titik berangkat yang ramah bukan dari syakwasangka tapi dari kesediaan dan kesanggupan menerima sesuatu yang berbeda. Maka awalilah hari dengan salam kemanusiaan. Karena kita sejatinya sejajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun